STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN PTAIS
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
Pendahuluan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Pendidikan tinggi dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi yakni menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, untuk itu perlu kesiapan perguruan tinggi dengan segala perangkatnya termasuk yang utama adalah tenaga akademik sebagai penggerak utama aktifitas pembelajaran, sehingga dosen harus mendapatkan pembinaan karier yang terencana dan proporsional. Tuntutan seperti tersebut di atas telah pula ditegaskan dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan, pada pasal 45 dan 46.
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, dewasa ini, jumlah perguruan tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAIS sekarang ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan tugas pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.
Sebagaimana diketahui bahwa tugas pemerintah dalam pendidikan agama Islam adalah memberikan layanan tinggi di bidang ilmu agama yang terjangkau. Untuk peran ini biasanya dilakukan oleh PTAIN dan tentu saja dibantu oleh lembaga pendidikan masyarakat, yaitu PTAIS dalam rangka ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping memberikan layanan pendidikan tinggi, maka tugas pemerintah lain yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan masyarakat dari kemungkinan untuk menderita kerugian karena adanya “mal-praktik” dalam bidang pendidikan tinggi. Oleh sebab itu, pengawasan menjadi bagian yang urgent dan tidak terpisahkan dalam upaya untuk melindungi kepentingan masyarakat dan meminimalisir mal-praktik dalam bidang pendidikan.
Dulu pengawasan dilakukan oleh pemerintah via Kopertais yang secara tidak langsung diperankan oleh (IAIN/STAIN), sedangkan UIN/IAIN/STAIN itu sendiri tidak pernah diawasi. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa keberadaan PTAIS “seolah-olah” mutunya di bawah IAIN/UIN/STAIN sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Namun dengan adanya kemajuan dan perkembangan zaman, keberadaan PTAIS justru kadang lebih bermutu dari pada PTAIN itu sendiri. Dengan demikian, ada beberapa PTAIS yang mempunyai kualitas atau mutu yang melebihi PTAIN, ini bisa menjadi sinyalemen yang positif, untuk itu perlu diketahui sejauh mana kriteria bahwa suatu PTAIS bisa dikategorisasikan mempunyai standar yang bermutu versi masyarakat ataupun sebagaimana yang diinginkan pemerintah.
Sebagaimana tercantum dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2004-2009, pembangunan pendidikan tinggi agama Islam didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dan peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Sehubungan dengan pemerataan dan perluasan akses pendidikan, kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam itu ditujukan untuk memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Kebijakan ini sangat relevan terkait dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola oleh masyarakat (baca: PTAIS).
Pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan tinggi adalah salah satu program prioritas dalam pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas seluruh masyarakat Indonesia agar dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing bangsa di era global. Melalui program ini, daya tampung satuan pendidikan diperluas dengan memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik.
A. Tinjauan tentang Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
PTAIS pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang bertujuan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat serta untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan budaya Islam guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional.
Upaya pembelajaran di PTAIS sendiri telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STI yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Perubahan STI menjadi UII terjadi pada 1948, saat itu UII memiliki lima fakultas. Kemudian salah satu fakultas pada UII, yaitu Fakultas Agama diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden I tertanggal 14 Agustus 1950. Menurut pasal 2 dari PP Nomor 34 Tahun 1950 tersebut, dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Saat ini, perguruan tinggi Islam swasta, baik yang berbentuk universitas, institut ataupun yang lainnya telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini tidak hanya terlihat dari jumlah lembaga, tetapi juga terdapat pada jumlah jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan bagi PTAIS terkait dengan jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk fakultas keagamaan berada di bawah pengawasan Kopertais dan untuk fakultas nonkeagamaan berada di bawah kopertis.
D. Kedudukan PTAIS Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip di atas akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Pembaruan pendidikan meliputi pula penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dengan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat.
PTAIS sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dikelola dan diselenggarakan oleh masyarakat telah turut serta membantu tugas pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia. Dari jumlah PTAIS yang terus bertambah, semakin menguatkan peran PTAIS dalam membantu mencerdaskan bangsa sehingga sudah selayaknya apabila pemerintah tidak lagi mengecilkan peran strategis PTAIS yang telah lama dilangsungkan.
Dalam UU Sisdiknas disebutkan beberapa klausul yang mengatur tentang ketentuan otonomi lembaga pendidikan tinggi termasuk PTAIS, di antaranya:
1. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
2. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
3. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
4. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
5. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Dari UU tersebut, arah pengaturan pengelolaan perguruan tinggi jelas akan ke bentuk otonomi yang lebih luas dan kemandirian perguruan tinggi dengan memberikan status badan hukum tersendiri. Namun, terkait dengan apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan sampai hari ini masih menjadi pertanyaan besar setiap penyelenggara pendidikan, karena UU BHP masih belum juga disyahkan.
Namun dalam Program Pembangunan Pendidikan Jangka Menengah Subprogram Pembangunan Pendidikan Tinggi dinyatakan bahwa salah satu tujuannya adalah meningkatkan kinerja perguruan tinggi dengan jalan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT).
PTAIS Sebagai Subsistem Dari Sistem Pendidikan Nasional
Secara historis dan faktual telah berdiri lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, berupa Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, baik Negeri maupun Swasta. Lembaga pendidikan tersebut berada di bawah pembinaan Departemen Agama, namun oleh regulasi Sistem Pendidikan Nasional dikualifikasi sebagai lembaga pendidikan umum setara dengan lembaga pendidikan yang berada dalam pembinaan langsung Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian, Perguruan Tinggi Agama Islam merupakan subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional dan secara fungsional berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pemegang tertinggi kebijakan pendidikan tinggi ada di Departemen Pendidikan Nasional. Namun, untuk PTAIS sebagaimana dinyatakan dalam 234/U/2000 Pasal 14 bahwa perguruan tinggi agama Islam diharuskan mengikuti aturan yang diberlakukan oleh Departemen Agama. Secara teknis, DEPAG mendelegasikan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang dilanjutkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam.
Di lapangan, tugas pengawasan dan pembinaan PTAIS dilaksanakan oleh Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS). Sebagai contoh, Kopertais Kopertais Wilayah IV Surabaya membawahi 113 PTAIS yang tersebar di daerah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara dengan kurang lebih 30 ribu mahasiswanya. Komponen kebijakan administrasi yang ditertibkan oleh Kopertais Wilayah IV meliputi: Kalender Akademik, NIMKO, Herregestrasi, Konversi Mata Kuliah jenjang Akademik Mahasiswa, UKM, Ijazah, Otomasi Data, Pendirian dan perpanjangan, dan Kenaikan Pangkat dosen.
E. Penyelenggaraan PTAIS
Pemerintah adalah institusi yang berwenang melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Bagi swasta, untuk mendirikan perguruan tinggi harus mengikuti persyaratan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Keputusan Mendiknas tersebut diterbitkan berdasarkan isi (ketentuan) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa: Tata cara pendirian perguruan tinggi diatur oleh Menteri (dalam hal ini Mendiknas).
Sebagaimana Surat Keputusan tersebut tidak hanya berlaku bagi pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional saja melainkan juga semua bentuk pendirian perguruan tinggi yang akan bernaung pada Departemen Agama, misalnya IAIN, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Fakultas Agama Islam (FAI) pada universitas, institut dan akademi. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 Pasal 14 disebutkan bahwa:
“Pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Agama selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 12 juga memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.”
Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi. Perguruan tinggi negeri sendiri sudah merupakan badan hukum milik negara (BHMN) yang bersifat nirlaba, sejajar dengan badan hukum milik negara (BUMN). Dalam perkembangan lebih lanjut ada tujuan untuk mengubah perguruan tinggi milik swasta menjadi badan hukum tersendiri. Motivasi didorong oleh adanya dua jenjang penyelenggaraan perguruan tinggi swasta menimbulkan birokrasi yang rumit, sehingga menghambat kelincahan perguruan tinggi swasta. Dengan menjadi badan hukum sendiri maka perguruan tinggi swasta dapat bertindak lebih mandiri dan otonom serta tidak memerlukan badan hukum lain sebagai penopangnya.
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi
PT Swasta
Sekarang Rencana PT Negeri
Dulu Sekarang
Catatan: PTS : Perguruan Tinggi Swasta
PTN : Perguruan Tinggi Negeri
BHP : Badan hukum pendidikan
BHMN : Badan Hukum Milik Negara
Sumber: R. Eko Indrajit, et.al, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006
Apabila rencana tersebut di atas direalisasikan, maka PTS memiliki hak-hak antara lain boleh mendirikan badan usaha, memiliki aset, bangunan, tanah dan sebagainya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun, konsep BHP masih merupakan hal yang kontroversial dan banyak ditolah oleh kalangan penyelenggara perguruan tinggi, meskipun telah dicantumkan dalam Undang-Undang.
Kontroversi BHP/BHPT
Namun demikian, sesungguhnya konsep BHP masih menjadi kontroversi dan perdebatan serius di kalangan pemerhati dan penyelenggara pendidikan, termasuk penyelenggara PTS dan PTAIS. Kontroversi bersumber dari Undang-undang Sisdiknas. Dalam UU Sisdiknas pasal 53 ayat (4) disebutkan ketentuan tentang badan hukum pendidikan (BHP) diatur dengan undang-undang tersendiri. Aturan perundang-undangan ini sendiri menurut Thomas Santosa sangat ganjil. Menurutnya tidak pernah dalam sejarah Undang-Undang melahirkan Undang-Undang. Biasanya perangkat peraturan pelengkap Undang-Undang diatur di peraturan pemerintah.
Selanjutnya, konsep BHP sendiri masih diresahkan oleh para penyelenggara PTS dan PTAIS. Masih menurut Thomas Santosa, badan penyelenggara (BP) PTS yang ada di Indonesia selama ini tidak hanya berbentuk badan hukum, tapi juga yayasan, koperasi, perseroan terbatas, perkumpulan, atau badan wakaf. Dia mencontohkan badan wakaf yang ada di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Di perguruan tinggi tertua di Indonesia itu, badan wakaf -lembaga yang menaungi UII- tidak memiliki badan hukum. Jika dipaksakan ada UU BHP, berarti UII harus mengubah badan wakafnya. Kondisi yang sama juga terjadi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar.
Sebenarnya, Konsep BHP sendiri tepat apabila diterapkan untuk PTN. Sebab, PTN belum mempunyai badan hukum dan tidak terbiasa dengan konsep otonomi. Selama ini pimpinan PTN tidak memikirkan aspek pembiayaan.
Untuk PTS seharusnya lebih fleksibel. Lembaga pendidikan swasta hadir ketika negara tidak siap memangku tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, setelah swasta membantu, negara malah ingin mengintervensi. Ini tentu sangat disayangkan. Seharusnya pemerintah lebih memikirkan konsep BHP untuk PTN terlebih dahulu. Tepatkah konsep ini diterapkan di semua lembaga pendidikan tinggi. Karena implikasi riil dari konsep ini adalah pendidikan tinggi menjadi mahal, tak terkecuali bagi mahasiswa yang berada di PTN.
Bahkan beberapa waktu yang lalu, telah muncul upaya penolakan dari Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) terhadap RUU BHP tersebut. Penolakan itu muncul setelah 500 PTIS se-Indonesia berkumpul di kampus Unissula Semarang, 11-12 Februari 2008. Ketua Umum Pembina PTIS yang juga rektor Unisba, E. Saefullah, mengatakan, BKS-PTIS menolak beberapa klausul kontruversial dalam RUU BHP, terutama pasal yang memuat peluang tentang penanaman modal asing (PMA) pada sektor pendidikan. Menurutnya PMA pada sektor pendidikan, akan mengubah filosofi pendidikan di Tanah Air.
Badan Hukum Yayasan
Saat ini, hampir semua penyelenggara PTAIS Masih dalam bentuk yayasan. Bentuk yayasan, sebelum keluarnya Undang-Undang Yayasan yang baru, merupakan bentuk badan hukum yang paling populer digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial karena cukup sederhana dan belum ada peraturan ketat yang mengaturnya. Namun, pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang mulai diberlakukan sejak 6 Agustus 2002. Adanya Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah badan hukum.
Undang-undang tentang yayasan dibuat karena pendirian yayasan di Indonesia sebelum itu hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurispudensi Mahkamah Agung. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud berlindung di balik status badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, melainkan ada kalanya bertujuan memperkaya diri para pendiri dan pengurusnya. Sejalan dengan itu, banyak masalah timbul karenanya seperti munculnya sengketa antara pengurus dengan pihak pendiri atau pihak-pihak lain.
Masalah-masalah yang muncul akan sulit diselesaikan secara hukum apabila tidak ada ketentuan hukum positif mengenai yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya. Untuk itu, Undang-undang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang harus mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan serta didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas pembina, pengurus dan pengawas, yang masing-masing secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembina adalah organ yayasan dengan kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-Undang atau Anggaran Dasar. Kewenangan yang dimaksud meliputi: memutuskan perubahan Anggaran Dasar, mengangkat dan memberhentikan anggota pengurus dan pengawas, menetapkan kebijakan umum yayasan, mengesahkan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan, serta menetapkan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan
2. Pengurus adalah organ yayasan yang melakukan kepengurusan yayasan
3. Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.
F. Peran Departemen Agama Dalam Mengembangkan PTAIS
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTI) merupakan salah satu Direktorat yang ada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia. DIKTI memfasilitasi dan mengkoordinasikan lebih dari 500 Perguruan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini terdiri dari empat klasifikasi, yakni: 1 Enam (6) Universitas Islam Negeri (UIN). 2 Dua belas (12) Institut Agama Islam Negeri (IAIN). 3 Tiga puluh dua (32) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) 4 Empat ratus enam puluh satu (461) Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).
No Perguruan Tinggi Jumlah PTAIN/S Jumlah Prog. Studi
1 UIN 6 225
2 IAIN 12 262
3 STAIN 32 241
4 PTAIS 461 1071
JUMLAH 511 1799
Sumber: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam - Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI, http://www.ditpertais.net/06/profil.asp
Program-program studi tersebut terdiri dari dua kelompok besar yaitu Program Studi Ilmu-ilmu Keislaman (Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah, Adab) dan Program Studi Ilmu-ilmu Umum (Kedokteran, Psikologi, Ekonomi, Sains dan Teknologi, Sosial Humaniora, dan Ilmu Pengetahuan Alam).
Keseluruhan Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut berada di dalam satu jaringan di bawah koordinasi DIKTI Departemen Agama Republik Indonesia. Fakta ini mencerminkan potensi dan posisi strategis DIKTI dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, Perguruan Tinggi Agama Islam memiliki keunggulan komparatif berupa biaya yang lebih terjangkau dan penekanan pada nuansa Islam Indonesia yang humanis. Dengan jaringan yang merata di seluruh wilayah Indonesia yang plural baik dari segi ekonomi, sosial budaya maupun etnis, maka DIKTI merupakan partner yang sangat penting bagi lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam dan luar negeri.
Lantas, bagaimana dengan persepsi masyarakat Indonesia tentang PTAI baik negeri ataupun swasta? Pada tahun 2007, Pusat Data dan Analisa Tempo pernah menyelenggarakan survei tentang persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya, dari “top of mind” PTS, hanya Universitas Islam Indonesia (UII) yang masuk urutan ke-8 PTS terfavorit. Sebaliknya, tidak satupun PTAIN baik dari UIN, IAIN ataupun STAIN yang masuk “top of mind” terfavorit.
Adapun terkait dengan peringkat perguruan tinggi di Indonesia, sebagaimana dirilis oleh majalah “Globe Asia” edisi Februari 2008, dari kategori PTAIS, hanya Univesitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berhasil masuk peringkat ke-7 PTS terbaik di Indonesia. Untuk PTAIN belum satupun yang berhasil masuk dalam kelompok 10 PTN terbaik versi majalah ini.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas PTAI baik negeri maupun swasta masih sangat besar. Peningkatan mutu pendidikan di PTAI masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan oleh Departemen Agama dan Penyelenggara PTAIS. Padahal, secara kelembagaan, mayoritas PTAI telah memenuhi ketentuan dasar keberadaannya, sebab diproses melalui syarat dan mekanisme yang ditentukan oleh perundang-undangan. Namun, dalam operasionalisasinya terdapat juga PTAI yang terhambat, tersendat bahkan terhenti, terutama dalam penyelenggaraan Program Studinya. Pada PTAI yang diselenggarakan oleh masyarakat, yakni PTAIS, masih minim kreatifitas, mayoritas hanya memiliki Program Studi Pendidikan Agama Islam, baru kemudian Program Studi tertentu dari Fakultas Syari'ah, Dakwah dan Ushuluddin.
G. Problematika PTAIS
PTAIS sebagai salah satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara umum kualitasnya masih memprihatinkan. Menurut ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS-PTIS), Saefullah Wiradipradja, keadaan PTIS di Indonesia cukup bervariatif. Namun dari 400 PTAIS yang ada, hanya 5% di antaranya yang dapat dikatakan mapan. Dari 5% PTIS yang dinilai sudah mapan saat ini, diantaranya Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Universitas Islam Bandung (Unisba) dan beberapa universitas lainnya. Sementara selebihnya masih membutuhkan bantuan.
Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan. Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara berkala mendapat alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi masalah kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata mendapat job di masyarakat karena mayoritas adalah guru agama yang sudah mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat tugas setelah lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Analisis SWOT Terhadap PTAIS
Di sini penulis mencoba menganalisis kondisi dan realitas yang umumnya terjadi di PTAIS sebagai berikut:
Strenghts
a. Dukungan landasan filosofis Pancasila, UUD 1945, dan keputusan-keputusan yang memberi peluang untuk eksisnya lembaga pendidikan Islam termasuk PTAIS.
b. Dukungan umat Islam Indonesia yang menginginkan adanya lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia sehingga melahirkan banyak PTAIS.
c. Banyaknya lembaga pendidikan Islam tingkat dasar dan menengah yang menjadi raw input bagi PTAIS, seperti pesantren, sekolah Islam dan Madrasah
d. Dibanding PTAIN, PTAIS lebih bersifat otonom sehingga gerak langkahnya lebih luas.
Weakness
Pendanaan PTAIS yang terbatas yang berdampak pada pengembangan yang terbatas pula.
a. Sumberdaya manusia (dosen dan karyawan) yang terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas
b. Keterbatasan sarana dan fasilitas
c. Keterbatasan aset yang dapat dikembangkan menjadi sumber dana.
Opportunities
a. Harapan umat Islam sangat besar terhadap PTAIS.
b. Semakin sadarnya masyarakat, terutama umat Islam akan pentingnya pendidikan di perguruan tinggi, termasuk PTAIS.
c. Semakin banyaknya lembaga PTAIS yang berkualitas sehingga menjadikan animo masyarakat untuk masuk PTAIS semakin tinggi.
d. Banyaknya lembaga pendidikan pendidikan islam yang membutuhkan output perguruan tinggi Islam, termasuk PTAIS.
Threats
a. Masih banyaknya PTAIS yang masih dalam proses pembinaan sehingga semakin kalah bersaing.
b. Sulitnya alumni PTAIS untuk mendapatkan pekerjaan, terutama alumni ilmu-ilmu keislaman.
c. Belum jelasnya konsep islamisasi ilmu yang menjadikan calon mahasiswa menjauh dari program yang ditawarkan PTAIS.
d. Tidak jelasnya visi PTAIS sebagai lembaga keilmuan atau keagamaan.
H. Peluang Masa Depan PTAIS
Dari analitis swot di atas, penulis menilai bahwa PTAIS sebenarnya mempunyai peluang untuk unggul karena PTAIS pada umumnya berdiri terlepas dari PTAIS yang lain sehingga tidak terkekang oleh gerak langkah PTAIS yang lain. Berbagai keputusan dapat diambil cepat tanpa harus memikirkan implikasinya secara nasional. Dengan kelonggaran yang dimilik PTAIS masih sangat terbuka peluang bagi PTAIS-PTAIS untuk berkembang lebih cepat. Di samping itu, animo masyarakat, terutama umat Islam, terhadap PTAIS masih tinggi sehingga turut mendorong PTAIS untuk terus berkembang. Hal ini diperkuat oleh banyaknya lembaga pendidikan Islam yang memberi peluang lebar kepada PTAIS untuk menjadikan lulusan LPI tersbut sebagai raw input sekaligus menjadikan LPI sebagai sasaran kerja bagi lulusan PTAIS sendiri.
Tingginya harapan masyarakat seharusnya menjadi tantangan utama PTAIS untuk mengembangkan lembaganya. Apalagi akhir-akhir ini banyak PTS yang ternyata memiliki kemampuan mengembangkan perguruan tinggi melebihi PTN. Perkembangan seperti bukanlah tidak wajar dan selaras dengan apa yang terjadi di negara-negara lain yang sudah maju. Di negara seperti Amerika, dari sekitar 1500 perguruan tinggi, 36 yang terbaik semuanya swasta. Perguruan tinggi seperti Harvard, Yale, Chicago, Georgetown yang semuanya termasuk dalam kategori most competitive adalah PTS.
Terkait dengan usaha pengembangan PTAIS ini, Suprayogo mengemukakan beberapa fase yang harus dilalui PTAIS. Pertama, fase pembangunan kesadaran. Kedua, fase pengembangan sarana fisik dan fasilitas. Ketiga, fase pembangunan akademik. Keempat, fase pengukuran dan penghargaan. Dan yang terakhir, fase aktualisasi diri sebagai perguruan tinggi yang sesungguhnya.
Di samping itu, untuk mencapai keberhasilan PTAIS, tentu saja diperlukan banyak syarat, namun syarat keberhasilan yang terpenting dan mendesak bagi PTAIS adalah:
1. Pengelolaan secara profesional
2. Dukungan fasilitatif dari pelaksana pemerintah di lapangan
Selanjutnya Dardjowidjojo menyatakan bahwa pengelolaan PTAIS secara profesional akan menjamin terciptanya PT yang memiliki (1) manajemen akademik dan administratif yang rapi, (2) fasilitas penunjang kuliah yang memadai, (3) dana perpustakaan yang cukup, (4) dosen-dosen yang berkualifikasi tinggi, (5) kegiatan penelitian yang terprogram, (6) kebijaksanaan yang membantu mutu dosen dan mahasiswa, (7) jaminan kesejahteraan bagi seluruh karyawan, (8) visi jauh ke depan yang berorientasi hanya pada kemajuan akademik.
Lebih lanjut Dardjowidjojo memandang perlunya dukungan penuh dari pemerintah, yang tidak cukup dengan kebijakan-kebijakan teoritis namun juga tindakan praktis dari pelaksana kebijakan tersebut di lapangan. Untuk kalangan PTAIS, pelaksana ini adalah BAN PT, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, dan Kopertais yang menaungi beberapa PTAIS di daerah.
Dardjowidjojo meyakinkan bahwa PTAIS dan Perguruan tinggi swasta di Indonesia akan lebih maju dengan pesat bila penerapan pelaksanaan peraturan di lapangan oleh pemerintah benar-benar bersikap tut wuri handayani. Karena bila aparat pelaksana di lapangan mempunyai sikap yang cenderung tidak percaya kepada PTS dan karenanya lalu mengidentikkan dirinya sebagai polisi yang mengawasi setiap gerak langkah PTS maka perkembangan PTS menjadi lamban. Bahkan tidak mustahil ada PTS yang terpaksa kucing-kucingan untuk menghindari pengawasan aparat.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Kedudukan PTAIS Dalam Sistem Pendidikan Nasional
PTAIS merupakan lembaga pendidikan formal tingkat tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dan mengikuti ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan nesional dan departemen agama.
2. Penyelenggaraan PTAIS
PTAIS diselenggarakan oleh masyarakat yang umumnya berbentuk yayasan. Wacana penyelenggaraan PTAIS melalui Badan Hukum Pnedidikan masih menjadi perdebatan serius mengingat banyaknya PTAIS yang telah berdiri lama dengan filosofi mendalam, seperti badan wakaf, yang tidak memiliki badan hukum.
3. Peran Departemen Agama Dalam Mengembangkan PTAIS
Meski pada dasarnya PTAIS mengacu pada setiap peraturan yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional namun selanjutnya keberadaan PTAIS berada di bawah DEPAG. DEPAG melalui Kopertais berperan sebagai pembina dan pengawas penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh PTAIS.
4. Problematika PTAIS
Sebagai pendidikan swasta yang tidak mendapatkan DIK dan DIP, PTAIS masih dihadapkan pada masalah klasik terkait pendanaan. Permasalahan ini memunculkan kompleksitas kekurangan yang meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
5. Peluang Masa Depan PTAIS
Peluang keberhasilan PTAIS masih sangat terbuka mengingat tingginya animo masyarakat, terutama umat Islam, akan adanya lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Hal ini tentunya membutuhkan kebijakan pemerintah yang pro-PTAIS guna melengkapi kekurangan-kekurangan yang selama ini dialami oleh mayoritas PTAIS.
Saran-saran
Makalah ini berupaya mengupas secara tuntas kebijakan pendidikan di lingkungan PTAIS namun penulis menyadari masih adanya kekurangan di sana sini. Untuk itu, demi kesempurnaan makalah ini, penulis berharap adanya saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Berita Makasar. Ratusan PTIS di Indonesia Belum Mapan, www.beritamakasar.com. Selasa, 20-02-2007 (diakses pada 21 Mei 2008).
Berita Pendidikan Online. Kampus Islam Swasta Tolak RUU Badan Hukum Pendidikan. http:// minangkabaunewspendidikan.blogspot.com/feeds/posts (diakses pada 19 Mei 2008).
Dardjowidjojo, Soenjono, Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.
_________________. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Departemen Agama RI-Dirjen Pendidikan Islam, Panduan Pendirian PTAI di Lingkungan Departemen Agama, www.ditpertais.net/panduan.pdf (diankses pada 1 Mei 2008).
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam-Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI, http://www. ditpertais.net/06/profil.asp (diakses pada 20 Mei 2008).
Furchan, Arief. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2004.
____________, et.al. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di PTAI. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.
Indrajit, R. Eko, et.al. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Ishomuddin. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 1996.
Jawa Pos Online. Kamis, 07 April 2005. PTS Keberatan Intervensi Negara. http://www.jawapos. co.id/pts_keberatan_intervensi_negara.html. (diakses pada 19 Mei 2008).
KOPERTAIS WILAYAH IV. Visi dan Misi Kopertais Wilayah IV. http://www. kopertais4sby.org/VisiMisi.html (diakses pada 19 Mei 2008).
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004–2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
Soetari Ad., Endang, Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Akselerasi Pembangunan di Daerah, Jurnal FAI Uniga Edisi Ke-2 Desember 2007 (Online), http://alimudin. multiply.com/favicon.ico (diakses pada 20 Mei 2008).
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN Press, 1999.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.
Yusus, Choirul Fuad. Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang pendidikan agama dan keagamaan DEPAG RI, 2006.
Selasa, 02 Desember 2008
STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN PTAIS
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.34
Label: manajemen pendidikan islam
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment