SEJARAH PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
Pendahuluan
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun hingga hari ini pendidikan Islam di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai problematika yang tidak ringan. Berbagai komponen pendidikan Islam dari tujuan, kurikulum, guru, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan sebagainya masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan mendasar yang berakibat pada mutu pendidikan Islam yang seringkali menunjukkan keadaan yang kurang menggemberikan.
Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini terutama terkait dengan pembiayaan pendidikan yang minim. Hal ini berimbas pada hampir semua komponen pendidikan lainnya. Padahal biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan biaya dan pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hamper tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan secara maksimal.
Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan adalah membutuhkan biaya. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah maupun Madrasah dalam segala aktifitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan, pelaksanaan program, dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada, kesemua itu memerlukan anggaran dana. Sehubungan dengan itu setiap manajer pendidikan Islam hendaknya memahami sejarah pembiayaan pendidikan Islam di Indonesia beserta teori dan praktik manajemen pembiyaan yang terbaik bagi lembaga pendidikannya.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa Pra-kemerdekaan
Pendidikan Islam telah mulai berlangsung di Indonesia sejak masuknya para pedagang muslim ke negeri ini pada abad VII M. Mula-mula pendidikan agama hanya berlangsung antara individu dengan individu lainnya. Materi yang diajarkan pun hanya berkisar pada prasyarat seseorang menjadi muslim. Proses pendidikan Islam kemudian berkembang ke arah kolektif ketika sudah memberi pengaruh yang signifikan di masyarakat Indonesia.
Pengaruh pendidikan agama yang dilaksanakan oleh para dai muslim menemukan hasilnya ketika pada abad X berdiri kerajaan Islam pertama di Aceh yang bernama Pase atau kerajaan samudra (kerajaan ini juga dikenal dengan samudera pasai). Di kerajaan ini dilangsungkan pendidikan agama dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya.
Hal ini sesuai dengan laporan Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat jumat sampai waktu asar. Dari keterangan itu diduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama dari berbegai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.
Zuhairi dkk. melihat bahwa pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab Syafi’i.
2. Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majlis taklim dan halaqah.
3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
4. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.
Jadi, pada masa kerajaan Islam Pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri. Bahkan, setelah berdirinya Kerajaan Perlak pendidikan agama berkembang sangat baik. Sultah Mahdum Alaudin Muhammad Amin, Raja keenam Perlak, mendirikan perguruan tinggi Islam yang diperuntukkan bagi siswa yang telah alim. Dengan dukungan pendanaan dari kerajaan, perguruan ini dapat mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi seperti Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan sebagainya.
Berawal dari Aceh, Pendidikan Islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di Jawa, misi ini diusung oleh Sunan Giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase yang bermadzhab Syafi’i.
Pendidikan Islam selanjutnya berkembang dari majlis taklim di kerajaan terus berkembang ke surau-surau dan masjid. Di Sumatera Barat surau-surau berkembang menjadi tempat pengajian untuk pemuda-pemuda muslim. Salah satunya surau besar yang mirip konsep pesantren muncul di Batuhampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syaikh Abdurrahman pada tahun 1777. Kompleks ini kemudian dikenal sebagai “Kampung Dagang”. Kampung Dagang dibangun dengan sarana dan fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di dalam kawasan yang luasnya sekitar 3 hektare ini ada sebuah pasar kecil, di mana terdapat beberapa kedai tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari. Jumlah orang siak (santri) yang belajar di Kampung Dagang ini berkisar antara 1000 sampai 2000 orang.
Untuk mengikuti pelajaran di surau santri tidak dikenakan pungutan atau pembayaran apapun; tidak dikenakan uang sekolah, uang asrama atau uang makan. Jarang sekali santri memberikan uang kepada syaikh. Kalaupun ada, di samping oleh keluarga yang bersangkutan, diberikan atas dasar kerelaan dan keikhlasan. Biaya hidup dari santri berasal dari orang kampung yang berdekatan dengan surau, biasanya dijemput sendiri atau diantarkan oleh orang tua mereka. dalam menunjang pemenuhan kebutuhan hidup santri, masyarakat kota yang berdekatan, seperti payakumbuh, juga tidak kurang pula partisipasinya. Setiap hari minggu mereka mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya ke surau dengan pedati. Sedangkan santri yang datang dari negeri yang jauh, biasanya tiap hari kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar Batuhampar dengan membawa buntil (tempat beras seperti kantong terigu) dan sore harinya kembali dengan membawa buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu.
Akan halnya syaikh sendiri, tidak mempunyai pekerjaan selain mengajar di surau untuk memenuhi kebutuhan hidup kelurganya. Jadi ia cukup mengajar saja, karena kebutuhan hidupnya sehari-hari sudah dipenuhi dari sedekah dan sumbangan masyarakat, yang terus mengalir bahkan lebih dari cukup sehingga syaikhpun mampu menunaikan ibadah haji.
Seiring dengan perubahan yang terjadi pada lembaga pendidikan pada umumnya, maka perubahan institusi pendidikan rupanya juga merubah surau-surau yang ada di Sumatera menjadi sekolah-sekolah Islam. Pada tahun 1918 berdiri pula perkumpulan “Sumatera Thawalib” yang mendirikan sekolah-sekolah agama di Padang Panjang, Bukittinggi dan sekitarnya. Selanjutnya pada tahun 1920 berdirilah organisasi guru-guru Islam (PGAI) di Padang, yang kemudian mendirikan Normal Islam, sekolah modern untuk mempersiapkan guru-guru agama Islam. Sementara pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang Zainuddin Labbay El Yunusi mendirikan Diniyah School kemudian adiknya, Rahman El Yunusiyah mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 Nopember 1923. Kedua lembaga pendidikan tersebut mengispirasi berdirinya sekolah-sekolah Islam formal lain yang secara tidak langsung mengikis peran pendidikan yang dilangsungkan oleh surau-surau. Sehingga selepas tahun 1940-an surau dan sekolah-sekolah agama tradisional menjadi minoritas dibandingkan sekolah-sekolah modern.
Selanjutnya pembaruan sistem pendidikan agama, ditambah perubahan-perubahan ekonomi yang dilancarkan pemerintahan kolonial juga mengubah watak dasar santri dan surau. Santri yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari suatu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarganya. Perubahan ini berarti pecahnya integrasi santri dengan masyarakat, karena sebelumnya terjalin hubungan saling membutuhkan antara keduanya. Santri membutuhkan bantuan biaya masyarakat sementara yang terakhir ini memerlukan santri untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-upacara di negeri, dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama setelah menyelesaikan pelajarannya di surau.
Perubahan mendasar lainnya adalah yang menyangkut kepemilikan lembaga pendidikan. Jika surau dimiliki pendiri dan anak cucunya maka madrasah, dimiliki lembaga-lembaga yang mempunyai sistem manajemen kependidikan dan regenerasi kepemimpinan yang relatif teratur karena diatur oleh birokrasi organisasi. Surau-suaru besar yang kebanyakan didirikan sebelum abad ke-20, ketika sistem pendidikan Islam dimodernisasi, sedang mengalami krisis kepemimpinan, karena banyak pendirinya telah wafat sementara regenerasi kepemimpinan kepada anak sang pendiri tak bisa diharapkan. Akibatnya banyak surau ditutup atau menciut fungsinya menjadi sekedar tempat mengaji al-Qur’an. Sebagian lain meneruskan kelangsungan hidupnya terpaksa berafiliasi dengan organisasi Islam tertentu yang menyelenggarakan pendidikan Islam seperti Muhammadiyah, Permi, Diniyah, Thawalib, dan sebagainya.
Pesantren di Jawa
Ketika surau-surau di Sumatera terkikis oleh sekolah-sekolah Islam, tidak demikin halnya dengan pesantren-pesantren di jawa. Meski gerakan pendidikan Islam formal berlangsung deras, namun eksistensi pesantren sebagai pendidikan Islam pertama di jawa tetap survive dan eksis.
Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa. Munculnya pesantren sekitar abad ke-15 oleh para penyebar agama Islam di Jawa, di antaranya Wali songo. Sebagaimana halnya surau-surau di Sumatera, pesantren awalnya juga merupakan masjid yang menjadi tempat belajar para santri yang kemudian terintegrasi dengan asrama untuk penginapan para santri tersebut. untuk itu setiap pondok pesantren memiliki tiga unsur minimal: 1) Kyai yang mendidik dan mengajar; 2) Santri yang belajar; dan 3) Masjid. Pesantren pertama di Jawa diperkirakan dibangun oleh Sunan Ampel di Surabaya. Pada tahun selajutnya pesantren telah meyebar ke penjuru tanah Jawa.
Sebelum abad ke-18, pembiayaan pesantren dari tingkat rendah hingga tinggi ditanggung oleh masyarakat Islam sendiri. Pembiayaan tersebut dipungut dari uang zakat, srakah (iuran waktu pernikahan), wakaf dan palagara (pembayaran sesuatu hajat dari penduduk desa). Pengaturan pembagian tersebut diatur oleh pemerintah kerajaan.
Pada masa kerajaan Kartasura (sekitar tahun 1700 M) ada beberapa pesantren besar yang dijadikan perdikan, yang dikaruniai tanah sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah. Tetapi perdikan ini akhirnya dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916-1917. Tanah hak milik itu diambil alih oleh pemerintah kolonial.
Meski pada awal abad ke-20 Pemerintah Kolonial berlaku represif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam di Jawa, ternyata pada abad ini pesantren justru mengalami kebangkitan hebat. Muncul pesantren-pesantren baru yang masih tampak kokoh hingga saat ini. Pada periode ini pengelolaan pesantren dilaksanakan oleh kyai dengan bantuan masyarakat tanpa peran pemerintah.
Kedatangan Jepang pada fase selanjutna tidak memberi banyak perubahan kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hanya saja kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang yang tidak peduli terhadap agama memberi keleluasaan terhadap dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia. Kantor Urusan Agama yang pada masa Belanda dipimpin oleh seorang orientalis, pada masa ini digantikan oleh ulama pribumi. Beberapa pesantren besar juga dikunjungi dan dibantu ole pemerintah Jepang.
Peran Organisasi Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa beberapa organisasi Islam, terutama Muhammadiyah, terus membuka sekolah-sekolah di pelosok jawa. Pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam gagal dalam memproduksi kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman. Untuk itu salah satu amal usaha yang digalakkan oleh Muhammadiyah pada mulanya adalah pada lapangan pendidikan. Amal usaha pendidikan diharapkan memajukan dan memperbaharui pendidikan dan pengajaran serta memperluas ilmu menurut tuntutan Islam.
Lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah bersifat formal, baik umum maupun keagamaan. Tiap sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang dimiliki oleh Muhammadiyah sepenuhnya milik muhammadiyah, dan bukan milik individu. Sehingga di antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut kerjasama dapat dilakukan dengan lebih mudah karena adanya organisasi induk yang mendirikannya. Manajemen pendidikan yang dilangsungkan Muhammadiyah pada mulanya juga terpusat. Kurikulum pengajaran, pelasanaan ujian dan pembiayaan di sekolah-sekolah muhammadiyah kesemuanya di bawah kendali majelis pengajaran Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Di samping Muhammadiyah, Organisasi Islam lain yang juga turut membantu penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam di Jawa adalah Nahdlatul ‘Ulama. Organisasi yang digagas oleh Wahab Chasbullah ini berdiri pada tahun 1926. Organisasi ini memiliki departemen kependidikan yang disebut dengan Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif). Raisul Akbar NU pertama, Hasyim Asy’ari, adalah tokoh paling berpengaruh di organisasi ini. Dialah yang memperkenalkan sistem madrasah dan kurikulum yang memuat pelajaran umum dalam lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah NU.
Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaharuan pesantren. Namun, NU juga terjun dalam pembaharuan pendidikan dengan mendirikan madrasah-madrasah model Barat sebagaimana terlihat di beberapa pesantren saat ini.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-kemerdekaan
Sebagaimana telah penulis singgung di atas bahwa sebagai lembaga pendidikan tertua di Jawa pesantren telah berupaya memperbaharui sistem pendidikannya. Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Dengan kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul empat tipe pondok pesantren di Nusantara:
1. Ponpes tipe A adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;
2. Ponpes tipe B adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi);
3. Ponpes tipe C adalah pondok yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar;
4. Ponpes tipe D adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus sistem sekolah dan madrasah.
Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.
Hal ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang.
Hingga muncul harapan baru dari beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun, Pesantren Gontor dan lain-lain.
Sebagai gambaran, penulis uraikan di sini salah satu gagasan dari konsep pembiayaan berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor. Meniru apa yang dilakukan oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren ini juga berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf. Untuk itu, pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.
Badan Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.
Hingga saat ini YPPWPM terus menambah dan mengelola berbagai bentuk kekayaan bumi dan bangunan demi menjamin kebutuhan ekonomi Gontor. Kekayaan bumi yang dikelola YPPWPM hingga akhir tahun 2007 dalam m2 adalah sebagai berikut:
1. Di Kab. Ponorogo : 549.301
2. Di Kab. Madiun : 7.059
3. Di Kab. Ngawi : 2.048.505
4. Di Kab. Kediri : 182.336
5. Di Kab. Jombang : 20.160
6. Di Kab. Nganjuk : 104.893
7. Di Kab. Jember : 22.830
8. Di Kab. Lumajang : 1.630
9. Di Kab. Banyuwangi : 61.510
10. Di Kab. Trenggalek : 20.314
11. Di Kab. Tuban : 10.600
12. Di Kab. Magelang : 51.854
13. Di Kab. Bantul -Yogyakarta : 680
14. Di Kab. Bogor : 500.000
15. Di Kab. Lampung Timur : 80.000
16. Di Kab. Lampung Selatan : 109.246
17. Di Kab. Konawe Selatan : 3.337.710
18. Kab. Aceh Besar : 101.163
Total tanah yang dikelola sejumlah 7.209.791 m2.
Pertumbuhan madrasah
Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa ini madrasah berkembang cukup pesat, tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintah. Madrasah dan dunia pendidikan Islam pada umumnya dibiarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan apa adanya.
Perhatian pemerintah pada masa Orde Lama terhadap madrasah sangat rendah. Bantuan pembiayaan dari pemerintah juga belum dapat dirasakan oleh para pengelola madrasah. Pada masa ini pemeritah tidak mendirikan satupun madrasah negeri. Penegerian madrasah hanya dilakukan ketika beberapa Pemerintah Daerah menyerahkan beberapa madrasah ke Departemen Agama.
Harapan baru muncul ketika pada tahun 1975 departemen agama di bawah pimpinan Mukti Ali mengeluarkan keputusan bersama antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta menteri dalam negeri. Namun ternyata SKB tiga menteri ini masih menyisakan persoalan terkait dengan pembiayaan madrasah-madrasah yang mayoritas masih berstatus swasta.
Pendidikan Islam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijaksanaan agar madrasah pada gilirannya menjadi sekolah umum dapat diwujudkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai pelaksana undang-undang tersebut di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dalam Bab III pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa: “Sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah”. Demikian pula halnya dengan madrasah aliyah. Namun pada masa ini pendidikan Islam belum dikatakan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tetapi hanya satu bagian/urusan yang berada di bawah Departemen Agama.
Selanjutnya harapan baru muncul seiring dengan bergulirnya era reformasi yang menuntut penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski dalam era ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency, pemicu dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.
Pada era otonomi ini lahir pula UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas baru ini berusaha menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah termasuk dalam perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.
Saat lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan pesantren. Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban.
Terkait dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan Islam diperoleh dari:
1. Bantuan Pemerintah
Besarnya bantuan keuangan dari pemerintah bervariasi untuk madrasah negeri dan swasta :
a. untuk madrasah negeri berkisar antara 80–90 % dari anggaran sekolah;
b. untuk madrasah swasta berkisar antara 15 – 40 %. Besar kecilnya bantuan pemerintah dihitung secara seimbang dengan besar kecilnya pungutan sekolah dari orang tua siswa. Semakin besar pungutan dari orang tua, maka berakibat semakin kecil jumlah bantuan dari pemerintah.
2. Uang Madrasah
Iuran/bantuan orang tua siswa yang besarnya bervariasi menurut jenis madrasah, keunggulan madrasah dan besar kecilnya program madrasah tersebut :
- untuk madrasah negeri antara 5 – 15 %;
- untuk madrasah swasta 60 – 85 %
3. Kegiatan bazar madrasah, pameran dan lain lain
4. Kerjasama dengan perusahaan.
Kerja sama dengan perusahaan-perusahaan terkenal dengan cara memasang iklan/poster perusahaan pada madrasah atau dalam penerbitan madrasah. Upaya ini bisa dilakukan oleh sebagian madrasah untuk membiayai program program unggulan dalam meningkatkan kinerja dan out put madrasah. Apalagi saat ini persaingan cukup ketat dalam penerimaan siswa berkaitan semakin selektifnya orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya. Hal ini tidak terlepas dari semakin kompleknya jenis profesi dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja di samping makin ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi yang favorit. Walaupun dapat mendatangkan dana yang besar, namun kerjasama dengan perusahaan ini masih menimbulkan kontroversi, karena dapat berakibat buruk pada siswa maupun citra madrasah, terutama iklan untuk produk rokok dan sejenisnya.
PENUTUP
1. Pada mulanya pembiayaan pendidikan Islam diupayakan oleh individu-individu penyebar ajaran Islam di Indonesia. Beberapa dekade setelahnya muncul kerajaan-kerajaan Islam yang mendukung penuh pembiayaan pendidikan agama. Namun pada masa pemerintahan kolonial pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan liar sehingga sejak saat itu pembiyaan pendidikan diupayakan dari swadaya masyarakat.
2. Setelah masa kemerdekaan pendidikan Islam belum mendapat bantuan berarti dari pemerintah. Orde Lama dan Orde Baru belum sepenuhnya mempertimbangkan lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari aset negara. Hingga pada masa pemerintahan reformasi terbit UU Sisdiknas tahun 2003 yang memberi harapan pada pendidikan Islam untuk mendapatkan anggaran yang setara dengan lembaga pendidikan lainnya dari pemerintah.
Saran
1. Perlu ditingkatkannya peran serta (keterlibatan) masyarakat dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan Islam.
2. Perlunya konsep pendanaan yang kreatif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam demi menjamin keberlangsungan proses pendidikan.
3. Perlunya peningkatan bantuan dana bagi madrasah swasta dan pesantren. sebagai perbandingan di Australia, semua sekolah swasta mendapat bantuan dari pemerintah sebesar 76% dari anggaran biaya, yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah yang dibantu oleh Dewan Sekolah, dan untuk sekolah negeri 90% dana ditanggung oleh pemerintah.
DAFTAR RUJUKAN
Asrahah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Depdikbud, 2001, KBBI Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, Jakarta: Depag RI.
____________________, 2005, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta: Depag RI.
____________________, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Perkembangan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
____________________, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬____________________, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Hasan, M. Ali, et.al., 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Madjid, Nurcholis, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina.
Masyhud, Sulthon, et.al., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Nata, Abuddin, 2005, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin, 2004, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Portal Departemen Agama RI, Grand Design Madrasah, www.depag.go.id., diakses pada 20 Nopermber 2008.
Portal Informasi Pondok Modern Gontor, YPPWPM,
Rahardjo, Dawam, (ed.), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
_______________, (ed.), 1988, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.
Salam, Junus, 1968, K.H.A. Dahlan: Amal Dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.
Saridjo, Marwan, et.al, 1982, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.
Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supriyadi, Dedi, 1999, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sunarto, Nusyrifah, 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Yunus, Mahmud, 1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung.
Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Zuhairini, et.al., 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI.
Selasa, 02 Desember 2008
SEJARAH PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.15
Label: manajemen pendidikan islam
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment