Selasa, 02 Desember 2008

ANALISIS KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI:

ANALISIS KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI:
KASUS SUKSES PENGEMBANGAN AKADEMIK DI UIN JAKARTA
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com

PENDAHULUAN
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Pendidikan tinggi dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi yakni menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, untuk itu perlu kesiapan perguruan tinggi dengan segala perangkatnya termasuk yang utama adalah tenaga akademik sebagai penggerak utama aktifitas pembelajaran, sehingga dosen harus mendapatkan pembinaan karier yang terencana dan proporsional. Tuntutan seperti tersebut di atas telah pula ditegaskan dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan, pada pasal 45 dan 46.
Perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, PTN ataupun PTS secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, bahkan internasional, seperti dirumuskan dalam Deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi pada 1998.


Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.
Pengembangan perguruan perguruan tinggi Islam (PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global. Makalah ini mencoba mengkaji kemajuan pendidikan tinggi yang dapat ditempuh PTI dalam perspektif kepemimpinan perguruan tinggi yang telah dirumuskan baik pada tingkat pendidikan nasional maupun internasional. Tulisan ini juga berusaha menawarkan sejumlah peluang dan alternatif yang dapat ditempuh PTI—bukan hanya untuk survive, tetapi lebih-lebih lagi untuk mengembangkan dirinya menjadi Perguruan Tinggi yang dapat memberikan competitive advantage kepada mahasiswanya. Untuk itu, penulis mengemukakan tentang sebuah model pengembangan mutu yang dilakukan UIN Jakarta semasa kepemimpinan Azumardi Azra.

A. Kebijakan Global tentang Pendidikan Tinggi
Sebagaimana dikemukakan dalam “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” bahwa dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru perguruan tinggi. Paradigma baru itu, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan perguruan tinggi diharapkan dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat yang lebih luas.
Paradigma baru perguruan tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi kerangka dan landasan pengembangan perguruan tinggi merupakan hasil dari pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi, PTI sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu.
Kajian ulang terhadap kinerja perguruan tinggi secara komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan perguruan tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam sebuah konsep program pengembangan perguruan tinggi jangka panjang, 1986-1995, yakni, pertama, peningkatan kualitas perguruan tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagian besar berdasarkan konsep-konsep ini selanjutnya dirumuskan sebuah “paradigma baru” perguruan tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka Panjang Ketiga (1996-2005). Paradigma baru ini mencakup antara lain: peningkatan kualitas perguruan tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi merupakan komponen-komponen terpenting.
Rencana jangka panjang terakhir ini sejak semula memang disebut sebagai “paradigma baru” Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain.
Demikian, dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan segala ketentuan secara rinci; atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan kerangka dasar; memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi; dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Harus segera dikemukakan, perumusan kembali (reformulation) paradigma baru Perguruan Tinggi pada tingkat nasional itu mendapatkan daya dorong dengan terjadinya krisis moneter, ekonomi, dan politik di Indonesia sejak akhir 1997. Krisis yang juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada seluruh jenjang tidak terelakkan pula mendorong berkembangnya perluasan konsep paradigma baru Perguruan Tinggi tadi, sehingga tercakup dalam konsep reformasi pendidikan nasional secara menyeluruh. Reformasi sistem pendidikan dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh aspek pendidikan, seperti: filosofi dan kebijakan pendidikan nasional; sistem pendidikan berbasis masyarakat (community-based education); pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan; manajemen berbasis sekolah (school-based management); implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi; dan, sistem pembiayaan pendidikan.
Bagaimanapun, krisis multi dimensi dan multi level yang dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan membuat reformasi pendidikan yang dicanangkan berbagai pihak tidak mudah dicapai, apalagi dalam waktu dekat di awal milenium ketiga. Karena itu para perumus konsep reformasi pendidikan nasional merekomendasikan perlunya adopsi dua strategi; defensive strategy dan recovery strategy. Defensive strategy pada intinya bertujuan untuk mempertahankan prestasi yang telah dicapai di masa silam, dan sekaligus berusaha sedapat mungkin meningkatkan segala sesuatu yang baik. Strategi pemulihan bertujuan untuk memulihkan kembali pendidikan nasional dari berbagai krisis yang masih akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan.
Daya dorong tambahan (impetus) bagi implementasi paradigma baru Perguruan Tinggi muncul dengan dikeluarkannya “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” oleh UNESCO, yang sedikit telah dikutip di atas. Dokumen penting yang juga menjadi sumber utama tambahan bagi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia itu memuat pula hal-hal mendasar sejak dari misi dan fungsi Perguruan Tinggi; peranan etis, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif Perguruan Tinggi; perumusan visi baru Perguruan Tinggi; penguatan partisipasi dan peranan perempuan dalam Perguruan Tinggi; pengembangan ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi melalui riset dalam bidang ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan sains dan teknologi, dan penyebaran hasil-hasilnya; pengembangan orientasi jangka panjang Perguruan Tinggi berdasarkan relevansi; penguatan kerjasama Perguruan Tinggi dengan dunia kerja, dan analisis dan antisipasi terhadap kebutuhan masyarakat; diversifikasi pemerataan kesempatan pendidikan; pendekatan baru terhadap pendidikan secara inovatif; pemberdayaan mahasiswa sebagai aktor utama Perguruan Tinggi; pengembangan evaluasi kualitatif terhadap kinerja akademis dan administratif; antisipasi terhadap tantangan teknologi; penguatan manajemen dan pembiayaan Perguruan Tinggi; peningkatan kerjasama dan aliansi antara Perguruan Tinggi dengan berbagai pihak (stakeholders) seperti lembaga keilmuan lain, dunia industri, masyarakat luas, dan sebagainya.
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi dalam abad 21 seperti dirumuskan UNESCO—yang jelas sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia ada baiknya dikutip lebih lanjut beberapa bagian penting Deklarasi UNESCO tersebut, yang meliputi:
Pertama, tentang misi dan fungsi Perguruan Tinggi, Deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks itu, misi dan fungsi Perguruan Tinggi secara lebih spesifik adalah: mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia, dengan menawarkan kualifikasi-kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah-matakuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
Kedua, memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewargaan (citizenship) dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang mempribumi (indigenous).
Ketiga, memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset; dan memberikan keahlian (expertise) yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi; mengembangkan penelitian dalam bidang sain dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
Keempat, membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
Kelima, membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewargaan yang demokratis (democratic citizenship). Keenam, memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
Hal tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip di sini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif perguruan tinggi. Dalam hal ini Perguruan Tinggi berkewajiban:
Pertama, memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialmelalui penegakan etika dan keteguhan ilmiah/intelektual melalui berbagai aktivitasnya.
Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan dan sosial secara independen dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggungjawabnya; menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.
Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi, peringatan dan pencegahan.
Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.
Kelima, menikmati kebebasan dan otonomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggungjawab sepenuhnya (fully responsible) dan accountable kepada masyarakat.
Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan masyarakat global.

B. Tinjauan tentang Perguruan Tinggi Islam (PTI)
PTI pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang bertujuan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat serta untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan budaya Islam guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional.
Upaya pembelajaran di PTI sendiri telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang berawal dari lahirnya STI yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Perubahan STI menjadi UII terjadi pada 1948, saat itu UII memiliki lima fakultas. Kemudian salah satu fakultas pada UII, yaitu Fakultas Agama diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden I tertanggal 14 Agustus 1950. Menurut pasal 2 dari PP Nomor 34 Tahun 1950 tersebut, dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Saat ini, perguruan tinggi Islam, baik yang berbentuk universitas, institut ataupun yang lainnya telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini tidak hanya terlihat dari jumlah lembaga, tetapi juga terdapat pada jumlah jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan bagi PTI terkait dengan jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk fakultas keagamaan berada di bawah pengawasan Kopertais dan untuk fakultas nonkeagamaan berada di bawah kopertis.

C. Kedudukan PTI Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam UU Sisdiknas disebutkan beberapa klausul yang mengatur tentang ketentuan otonomi lembaga pendidikan tinggi termasuk PTAIS, di antaranya:
1. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
2. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
3. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
4. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
5. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Dari UU tersebut, arah pengaturan pengelolaan perguruan tinggi jelas akan ke bentuk otonomi yang lebih luas dan kemandirian perguruan tinggi dengan memberikan status badan hukum tersendiri. Namun, terkait dengan apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan sampai hari ini masih menjadi pertanyaan besar setiap penyelenggara pendidikan, karena UU BHP masih belum juga disyahkan.
Secara historis dan faktual telah berdiri lembaga Perguruan Tinggi Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, berupa Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, baik Negeri maupun Swasta. Lembaga pendidikan tersebut berada di bawah pembinaan Departemen Agama, namun oleh regulasi Sistem Pendidikan Nasional dikualifikasi sebagai lembaga pendidikan umum setara dengan lembaga pendidikan yang berada dalam pembinaan langsung Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian, Perguruan Tinggi Agama Islam merupakan subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional dan secara fungsional berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pemegang tertinggi kebijakan pendidikan tinggi ada di Departemen Pendidikan Nasional. Namun, untuk PTI sebagaimana dinyatakan dalam 234/U/2000 Pasal 14 bahwa perguruan tinggi agama Islam diharuskan mengikuti aturan yang diberlakukan oleh Departemen Agama. Secara teknis, DEPAG mendelegasikan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang dilanjutkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam.

A. Penyelenggaraan dan Kepemimpinan PTI
Pemerintah adalah institusi yang berwenang melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Pendirian perguruan tinggi harus mengikuti persyaratan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Keputusan Mendiknas tersebut diterbitkan berdasarkan isi (ketentuan) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa: Tata cara pendirian perguruan tinggi diatur oleh Menteri (dalam hal ini Mendiknas). Surat Keputusan tersebut tidak hanya berlaku bagi pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional saja melainkan juga semua bentuk pendirian perguruan tinggi yang akan bernaung pada Departemen Agama, misalnya IAIN, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Fakultas Agama Islam (FAI) pada universitas, institut dan akademi.
Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi. Perguruan tinggi negeri sendiri sudah merupakan badan hukum milik negara (BHMN) yang bersifat nirlaba, sejajar dengan badan hukum milik negara (BUMN). Dalam perkembangan lebih lanjut ada tujuan untuk mengubah perguruan tinggi milik swasta menjadi badan hukum tersendiri. Motivasi didorong oleh adanya dua jenjang penyelenggaraan perguruan tinggi swasta menimbulkan birokrasi yang rumit, sehingga menghambat kelincahan perguruan tinggi swasta. Dengan menjadi badan hukum sendiri maka perguruan tinggi swasta dapat bertindak lebih mandiri dan otonom serta tidak memerlukan badan hukum lain sebagai penopangnya.
Apabila rencana tersebut di atas direalisasikan, maka PTS memiliki kepemimpinan yang mendiri yang secara otomatis juga memiliki hak-hak hukum yang antara lain dapat mendirikan badan usaha, memiliki aset, bangunan, tanah dan sebagainya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dengan terealisirnya rencana tersebut pula, maka konflik kepemimpinan yang ada di Perguruan tinggi swasta dapat diredam.
Sebagaimana kita ketahui bersama, konflik kepemimpinan PTS kerap terjadi di tingkat pimpinan PTS dan yayasan. Sebagai contoh kasus Universitas Trisakti Jakarta, Universitas dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya, Universitas Tritunggal Surabaya, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS), dan Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang (Jawa Pos, Edisi Kamis 2 Juni 2005).
Kampus Tahun Keterangan
Universitas Trisakti Jakarta 2000 Rektor Vs Yayasan. Berakhir di pengadilan
Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya 2002 Rektor Vs Yayasan.
Konflik berkembang dengan munculnya dua Rektor dan dua Yayasan
Universitas Tritunggal Surabaya 2003 Pecah menjadi dua kampus
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya 2004 Muncul dua Rektor dan dua Yayasan. Belum sampai di pengadilan
Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang 1999 Muncul dua Rektor dan dua Yayasan
Sumber: Jawa Pos, Edisi Kamis 2 Juni 2005.

B. Problematika Kepemimpinan PTI
Permasalahan yang dialami oleh PTI sangat kompleks, meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan. Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAI telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTI yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya, terlebih yang sadar akan pentingnya pendidikan tinggi. Kampus PTI rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTI kecil sekali animonya, terebih bagi PTIS, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut karena angka partisipasi kasar nasional masih rendah, sementara PTN memperluas Program Studi yang menyedot animo yang biasa masuk PTIS, padahal di satu sisi jumlah PTIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTIS membuka kelas jauh untuk mengejar animo dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTIS, sebab rata-rata pembiayaan PTIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta.
Dari uraian masalah PTI di atas, yang menjadi problem utamanya adalah kepemimpinan PTI yang secara umum masih lemah. Ini terjadi tidak hanya terjadi pada PTIS, namun juga jamak terjadi di PTIN/PTAIN. Karena pada dasarnya masalah-masalah seperti keterbatasan infrastruktur, proses akademik, dan persaingan PTIS dengan PTIN ataupun dengan lembaga lainnya dapat dipecahkan dengan kepemimpinan yang kreatif, unggul dan visioner.
Dengan kepemimpinan PTI yang kuat, keterlambatan PTI dapat dikejar. Terutama terkait dengan rendahnya profesionalisme para dosen dan karyawan PTI. Padahal, pengelolaan PTI secara profesional merupakan kebutuhan paling mendesak dan urgent. Dengan kepemimpinan yang visioner dan pengelolaan yang profesional akan menjamin terciptanya PTI yang memiliki (1) manajemen akademik dan administratif yang rapi, (2) fasilitas penunjang kuliah yang memadai, (3) dana perpustakaan yang cukup, (4) dosen-dosen yang berkualifikasi tinggi, (5) kegiatan penelitian yang terprogram, (6) kebijaksanaan yang membantu mutu dosen dan mahasiswa, (7) jaminan kesejahteraan bagi seluruh karyawan, (8) visi jauh ke depan yang berorientasi hanya pada kemajuan akademik.
Lemahnya kepemimpinan PTI lebih dikarenakan lemahnya manajemen pengelolaan yang menjadi tanggung jawab pimpinan. Pimpinan PTI yang umumnya berlatar belakang intelektual murni atau tokoh yang berpengaruh kerap kesulitan ketika dihadapkan pada tugas-tugas manajerial. Sebagai indikator hal tersebut adalah: adanya sentralisasi kekuasaan, adanya penumpukan aktifitas di akhir tahun anggaran, lambatnya alur distribusi informasi dan tugas, tidak memiliki perencanaan yang akurat dalam rangka pengembangan lembaga, kurang disiplinnya karyawan,dosen dan mahasiswanya serta masih banyak lagi yang lainnya.
Khusus untuk PTIS yang secara struktural yang terdiri dari dua lembaga yaitu yayasan sebagai badan hukum dan perguruan tinggi itu sendiri sebagai unit pelaksana, maka untuk menghindari terjadinya crossing atau tumpang tindih bidang garapannya harus ada kejelasan mengenai hak, kewajiban wewenang, serta teritori masing-masing. Dalam hal ini peran seorang pemimpin sangat urgen. Untuk itu, figur pemimpin PTIS/N hendaknya merupakan perpaduan antara intelektualisme dengan kemampuan manajerial yang berpola pikir manajer.
Pimpinan PTI dalam mengelola perguruan tinggi harus memiliki manajemen yang fungsional dan professional. Manajemen dikatakan fungsional jika mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara efektif dan efisien. Sedangkan manajemen yang professional manakala dalam pelaksanaan menggunakan pertimbangan-pertimbangan professional, misalnya: penempatan personal disesuaikan dengan kemampuan dan keahliannya ( right man on the right place). Prinsip ini akan sejalan dengan prinsip prestasi dan konsep senioritas yang sudah seharusnya dilaksanakan. Jika prinsip ini yang diterapkan maka akan mudah pula menerapkan prinsip manajemen yang efektif dan efisien. Manajemen yang fungsional dan professional PTI harus mampu diintegrasikan dalam sebuah tata kerja yang padu dalam suatu kesatuan sistem. PTI harus memiliki perencanaan yang akurat serta personil pelaksana yang professional. PTI harus pula memiliki mekanisme kontrol dan alur distribusi wewenang dan tanggung jawab yang jelas.
Manajemen PTI tidak boleh berdasarkan pada filosofi “semua bisa diatur” tetapi harus pada pandangan “semua sudah diatur”. Perangkat lunak yang berupa peraturan untuk kedisiplinan dan segala macamnya sudah harus diciptakan sehingga untuk tiap masalah yang muncul sudah tersedia jalan keluarnya. Peraturan-peraturan yang dibuat harus atas kesepakatan semua pihak dalam hal ini adalah pimpinan, dosen, karyawan serta seluruh mahasiswa dan sivitas akademika. Berangkat dari kondisi internal semacam ini, akan melahirkan ide-ide brilian yang mewujudkan PTI yang dinamis dan inovatif. Hal ini harus pula diikuti kelengkapan perangkat keras, seperti perpustakaan dan laboratorium yang memadai sebagai jantungnya PTI.
Sebenarnya PTI yang mayoritas swasta memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang dan maju karena lembaga swasta tidak banyak terikat dengan aturan-aturan administratif sehingga lebih bebas, fleksibel dan lebih bisa bergerak cepat dibanding lembaga pendidikan negeri. Tentu saja potensi ini tidak akan bisa terealisir apabila manajemen maupun personalia tidak dikelola secara professional.
Untuk itu, Pimpinan PTI seharusnya dipilih berdasarkan pada kriteria kapabilitas, akseptibilitas serta komitmen seseorang pada pengembangan dan kemajuan lembaga. Namun pada kenyataanya sering terjadi di PTI, terutama di PTIS, yang menjadi pertimbangan dalam menempatkan pimpinan adalah karena senioritas atau karena status sosialnya, walaupun kriteria ini tetap dibenarkan sepanjang dari aspek kapabilitas dan akseptibilitasnya juga tetap dipertimbangkan. Peran pimpinan sebagai role model sangat dituntut, karena maju atau mundurnya PTI sangat ditentukan oleh pimpinan. Karena pada dasarnya tidak pernah ada lembaga pendidikan maju dengan pimpinan yang kurang baik.

C. Kasus Sukses Pengembangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di antara beberapa PTI di Indonesia, perkembangan UIN Syarif Hidayatullah dan Unmuh Malang mungkin yang tampak paling menonjol. Namun pada makalah ini penulis hanya berupaya menampilkan kasus sukses IAIN Syarif Hidayatullah dalam mengembangkan lembaganya menjadi Universitas Islam Negeri yang pertama.
Konsep dasar awal pengembangan IAIN Jakarta pada 1990-an adalah perubahan IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta, atau Universitas Islam Syarif Hidayatullah. Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN menjadi UIN bertitiktolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut:
1. IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Kurikulum IAIN belum mampu meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum IAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan mahasiswa kepada cara berfikir dan pendekatan yang lebih empiris dan kontekstual nampaknya masih belum memadai.
Berdasarkan latar belakang pokok itu, pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mempunyai alasan yang cukup kuat. Tetapi sejak gagasan pembentukan UIN bergulir, terdapat cukup banyak kendala pokok yang harus diatasi, khususnya legal constraints yang berkaitan dengan Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Penerbitan PP 60/1999 belum cukup reformis untuk memungkinkan perubahan IAIN menjadi UIN. Karena itu, jika dalam kerangka transformasi IAIN kepada UIN, setidaknya ada dua opsi yang dapat dipilih. Kedua opsi tersebut yaitu:
Pertama, langsung mengubah atau mentransformasikan IAIN Jakarta yang mungkin dipandang “cukup siap”, terutama dari segi SDM dan lingkungan akademi, untuk menjadi UIN.
Kedua, mendirikan atau membentuk jurusan-jurusan dan fakultas-fakultas baru dalam institusi IAIN sekarang sehingga secara substantif sesuai dengan kerangka UIN.
Konsep dan kerangka pengembangan seperti inilah, dalam pandangan dalam pangdangan Azra disebut dengan “IAIN dengan mandat lebih luas” (IAIN with wider mandate”). Alternatif ini mungkin lebih “realistis” dari segi penyiapan prasarana, sarana dan sumber daya. Dan sesuai dengan konsep dan kerangka “IAIN with wider mandate”, IAIN Jakarta telah dan akan mengembangkan jurusan-jurusan umum, khususnya eksakta, yang dalam tahap selanjutnya di-upgrade menjadi fakultas-fakultas. Pada saat yang sama, sejak tahun anggaran 1998/1999 IAIN Jakarta mulai memberikan prioritas pada rekrutmen dan pengangkatan calon-calon dosen sesuai dengan kerangka dan konsep IAIN dengan mandat lebih luas tersebut.
Bagaimanapun, baik konsep dan kerangka UIN ataupun IAIN dengan mandat lebih luas memerlukan model tertentu, baik dilihat dari secara epistimologis keilmuan maupun kelembagaan. Model itu terasa semakin diperlukan untuk menjaga agar bidang-bidang agama yang selama ini menjadi karakter IAIN tidak terkesampingkan atau termarjinalisasi, seperti terlihat dalam beberapa kasus, karena ekspansi bidang-bidang umum dalam kerangka UIN atau IAIN dengan mandat lebih luas. Karena itu, dalam konsep dan kerangka UIN, terdapat setidaknya tiga pilihan:
Pertama; “Model Universitas al-Azhar”, di mana fakultas-fakultas agama berdiri berdampingan dengan fakultas-fakultas umum. Fakultas-fakultas ini cenderung terpisah satu sama lain, walaupun tetap di bawah satu payung. Kecenderungan dari model ini adalah bahwa fakultas-fakultas umum menjadi fakultas-fakultas favorit, sementara fakultas-fakultas agama menjadi “fakultas-fakultas pilihan kedua”, untuk tidak menyebut “periferal”.
Kedua; Model Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) yang mempunyai fakultas agama yang berdiri terpisah. Dalam model ini, fakultas-fakultas umum berdampingan dengan fakultas agama yang terdiri dari beberapa jurusan, seperti jurusan tarbiyah, jurusan syari‘ah (yang sebelumnya dalam institusi IAIN merupakan fakultas-fakultas tersendiri). Dalam model ini, subyek-subyek agama bisa menjadi periferal, karena hanya ada satu fakultas agama.
Ketiga, “Model Universiti Islam Antarbangsa (UIA)” Kuala Lumpur. Dalam model ini ilmu-ilmu dibagi menjadi “revealed knowledge,” ilmu-ilmu kewahyuan, yang memunculkan fakultas/jurusan agama; dan “acquired knowledge”, ilmu perolehan, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi fakultas-fakultas atau jurusan-jurusan umum, seperti teknik, kedokteran, ekonomi, psikologi, antropologi, dan sebagainya. Bidang-bidang ini selain “diislamisasikan”, ketika dijabarkan ke dalam kurikulum, juga dilengkapi dengan subyek-subyek keislaman dan lainnya yang berkaitan.
Gagasan Universitas yang dilakukan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta akhirnya berhasil dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Keppres tersebut lebih didasari oleh tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan serta proses integrasi antara ilmu agama dengan ilmu lain.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang semula dibina oleh satu departemen yakni Departemen Agama, saat ini telah mengembangkan jurusan dan fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu humaniora lainnya, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta yang berada di bawah binaan Depdiknas. Sebagaimana dinyatakan dalam Keppres tersebut, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara teknis akademis bidang ilmu umum dibina oleh Menteri Pendidikan Nasional dan secara teknis fungsional dibina oleh Menteri Agama.

PENUTUP
Problematika kepemimpinan Perguruan tinggi Islam (PTI) lebih dikarenakan lemahnya manajemen pengelolaan yang menjadi tanggung jawab pimpinan. Pimpinan PTI yang umumnya berlatar belakang intelektual murni atau tokoh yang berpengaruh kerap kesulitan ketika dihadapkan pada tugas-tugas manajerial. Padahal, pimpinan PTI dalam mengelola perguruan tinggi seharusnya memiliki dan menggunakan manajemen yang fungsional dan profesional. Untuk itu, sebagai penutup makalah ini penulis menyarankan agar Pimpinan PTI tidak hanya dipilih berdasarkan faktor ketokohan atau intelektualisme an sich, namun lebih dari itu pimpinan PTI dipilih berdasarkan pada kriteria kapabilitas, akseptibilitas serta komitmen seseorang pada pengembangan dan kemajuan lembaganya.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, http://www.ditpertais. net/artikel/azyu01.asp (diakses pada 20 Mei 2008).
Berita Makasar. Ratusan PTIS di Indonesia Belum Mapan, www.beritamakasar.com. Selasa, 20-02-2007 (diakses pada 21 Mei 2008).
Berita Pendidikan Online. Kampus Islam Swasta Tolak RUU Badan Hukum Pendidikan. http:// minangkabaunewspendidikan.blogspot.com/feeds/posts (diakses pada 19 Mei 2008).
BKS-PTIS, Kompetensi PTIS dalam PJPT kedua. Yogyakarta: Tiara wacana, 1993.
Dardjowidjojo, Soenjono, Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.
_________________. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Departemen Agama RI-Dirjen Pendidikan Islam, Panduan Pendirian PTAI di Lingkungan Departemen Agama, www.ditpertais.net/panduan.pdf (diankses pada 1 Mei 2008), 1.
Departemen Agama RI, Kebijakan Tahun 2004: Peningkatan kualiatas Akademik dan Administrasi PTAI, (Jakarta: Dirjen Bagais-Depag RI, 2004)
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam-Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI, http://www. ditpertais.net/06/profil.asp (diakses pada 20 Mei 2008).
Furchan, Arief. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2004.
____________, et.al. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di PTAI. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.
Indrajit, R. Eko, et.al. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Ishomuddin. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 1996.
Jawa Pos Online. Kamis, 07 April 2005. PTS Keberatan Intervensi Negara. http://www.jawapos. co.id/pts_keberatan_intervensi_negara.html. (diakses pada 19 Mei 2008).
Keppres No. 31 Tahun 2002 Tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kopertais Wilayah IV. Visi dan Misi Kopertais Wilayah IV. http://www. kopertais4sby.org/VisiMisi.html (diakses pada 19 Mei 2008).
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004–2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
Soetari Ad., Endang, Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Akselerasi Pembangunan di Daerah, Jurnal FAI Uniga Edisi Ke-2 Desember 2007 (Online), http://alimudin. multiply.com/favicon.ico (diakses pada 20 Mei 2008).
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN Press, 1999.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 20 Ayat 1.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.
Yusus, Choirul Fuad. Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang pendidikan agama dan keagamaan DEPAG RI, 2006.

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online