PINGIN LIHAT, STAIM DALAM PETA? SILAKAN KUNJUNGI http://wikimapia.org/6530030/id/Staim
Sabtu, 24 Januari 2009
STAIM DALAM PETA
Diposting oleh asrori-nganjuk di 16.47 0 komentar
Selasa, 02 Desember 2008
TAFSIR ILMI
TAFSIR ILMI
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://asrori.blogspot.com
PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan yang cukup dan amal yang sempurna. Segala makhluk Tuhan indah dan berhikmah, namun kebanyakan manusia tidak menyadari keindahan dan hikmah tersebut dalam dirinya. Tuhan telah menciptakan manusia ini atas dua bagian, ada yang beriman dan ada pula yang kafir, sebagian mereka ada yang dapat mengerti keindahan dan hikmah alam serta ilmu pengetahuan yang ada. Hal ini disebabkan karena Tuhan memberikan pengetahuan kepada orang yang bersungguh-sungguh menunjukkan kemampuannya dan kesiapannya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Segala macam ilmu pengetahuan yang ada pada zaman dahulu sampai sekarang, semuanya termaktub dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Mas’ud: “Barang siapa ingin menjadi orang yang berilmu, maka pahamilah Al-Qur’an. Karena sesungguhnya segala ilmu yang ada di dunia ini ada di dalamnya”.
Dalam al-Qur’an hanya ada rumus-rumus dan indikasi-indikasi yang secara khusus bisa difahami oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memahaminya. Sahabat Ali ra mengatakan: “Siapa saja yang memahamh al-Qur’an, dimana dengan cara tersebut dia berusaha menafsirkan kalimat-kalimat ilmu, maka dia akan memperoleh petunjuk, bahwa al-Qur’an akan menunjukkan pada seluruh ilmu”.
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan penuntun bagi kehidupan manusia baik spiritual maupun material. Dan keduanya hanya bisa dikembangkan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu relevansinya dalam konteks sekarang ini bukanlah mencocokkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, melainkan mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an sebagai landasan berpijak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan metode penafsiran al-Qur’an yang didukung dan mendukung pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dilakukan oleh Tafsir Ilmy.
A. Pengertian Tafsir Ilmy
Mayoritas ulama tafsir dan mereka yang memiliki perhatian serius terhadap kajian al-Qur’an atau yang biasa disebut sebagai ‘ulum al-Qur’an sepakat memasukkan Tafsir Ilmy ini sebagai salah satu corak penafsiran yang secara metodologis merupakan bagian dari metode tafsir tahlily. Artinya, metode tafsir tahlily dalam operasionalnya mencakup beberapa corak penafsiran al-Qur’an, seperti corak tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-shufi, tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir al-falsafi, dan tafsir ‘ilmy.
Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa Tafsir Ilmy adalah usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan sains moderen sebagai alat bantunya. Ayat-ayat al-Qur’an disini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat.
Jadi yang dimaksud dengan tafsir ilmy adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam menghubungkan ayat-ayat kauniyah (al-ayat al-kauniyah) dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memelihara kemu’jizatan al-Qur’an.
Alasan utama yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang baik secara eksplisit maupun implisit memerintahkan manusia untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemu’jizatan al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern.
Bahwa, sekalipun al-Qur’an semula diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, namun sasaran utamanya bukanlah untuk kepentingan beliau saja, bahkan pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an tersebut lebih diperuntukkan bagi umat secara keseluruhan (rahmatan lil-alamin). Ini artinya bahwa al-Qur’an terbuka untuk siapapun juga dengan pendekatan dan perangkat analisis yang berbeda pula. Dengan kata lain meski ayat-ayat kauniyah ini secara tegas dan khusus tidak diperuntukkan kepada para ilmuan (saintist), namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti mamahami ayat-ayat kauniyah itu, sebab mereka yang memiliki sarana dan kompetensi untuk melakukan hal itu dibandingkan dengan yang lainnya.
Corak Tafsir Ilmy sebagai salah satu perangkat dalam memahami pesan-pesan Tuhan, kemunculannya disamping bertujuan ingin melihat seberapa jauh nilai kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek ilmu pengetahuan atau sains modern juga lebih dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa al-Qur’an pada dasarnya mencakup seluruh ilmu-ilmu, baik ilmu terdahulu, sekarang, maupun terkemudian.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan ada dalam surat al-An’am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 dan al-Ghasyiyah ayat 17-21 sebagai berikut:
QS. Al-An’am ayat 38: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
QS. An-Nahl ayat 89: Dan ingatlah akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
QS. Al-Ghaasyiyah ayat 17-21:Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan, Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an pada dasarnya telah mencakup “segala sesuatu”. Dalam konteks yang demikian, di dalam al-Qur’an juga terdapat segala macam ilmu pengetahuan.
B. Pandangan Ulama Tentang Tafsir Ilmy
Pendapat yang berkembang dan pendapat para ulama tentang Tafsir Ilmy terdapat berbagai jenis penafsiran dan pendapat tentang al-Qur’an yang menerangkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah kita maklumi bersama. Segala ilmu pengetahuan yang ada sesungguhnya terdapat di dalam al-Qur’an baik masa sekarang, maupun masa akan datang, di dalamnya tercakup pengetahuan agama, keyakinan, ilmu pengetahuan umum yang ada di dunia ini.
a. Pendapat Imam Al-Ghazali Tentang Tafsir ‘Ilmy
Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya Imam al-Ghazali pada zamannya merupakan ulama yang banyak memberikan perhatian terhadap al-Qur’an begitu juga tafsirnya. Dan salah satu bentuk karya terbaiknya yang dipersembahkan oleh dunia Islam adalah rumusan-rumusan tata cara memahami istilah-istilah al-Qur’an. Dan di dalam kitab al-Ihya’ (Ihya’ Ulumiddin) bab empat tentang adab membaca al-Qur’an dan tafsirnya dimana para ulama sering menukil pendapat ini yang menjelaskan bahwa al-Qur’an mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus macam ilmu pengetahuan. Karena menurut al-Ghazali setiap huruf adalah ilmu.
Dan Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Barang siapa yang ingin menguasai keseluruhan ilmu maka kuasai al-Qur’an.dan pada dasarnya setiap macam ilmu pengetahuan adalah salah satu dari sifat af’al Allah karena di dalam al-Qur’an disebutkan tentang dzat-Nya, sifat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Dan ini tidak terbatas serta tidak berujung dan telah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal itu.
Kemudian jika kita menela’ah kitab Jawahirul Qur’an yang dikarang setelah kitab ihya’ terdapat penjelasan yang lebih rinci dan luas tentang bab empat mengenai ilmu-ilmu agama dan pembagian-pembagian secara terperinci mengenai ilmu-ilmu di dalam al-Qur’an.
Imam al-Ghazali membagi ilmu-ilmu al-Qur’an menjadi dua bagian pertama ilmu kulit yang meliputi (ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu qiraat, ilmu makharijul khuruf, ilmu tasir). Kedua, ilmu isi yang meliputi (ilmu kisah orang-orang terdahulu, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh, ilmu tauhid dan hari kiamat, ilmu shirat mustaqim, ilmu akhlaq dan etika).
Kemudian pada bab lima Imam Ghazali menambahkan tentang metode mempelajari seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an seperti ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan, geografi, bentuk bumi, bentuk fisik hewan dan gerakan-gerakannya. Selain ilmu-ilmu yang telah disebutkan terdapat masih banyak ilmu-ilmu yang manusia capai, tetapi kemampuan manusia yang terbatas sehingga masih banyak ilmu-ilmu yang belum tertangkap. Dan Allah yang maha suci yang tidak terbatas dari segala keterbatasan.
Imam Ghazali menambahkan bahwa semua ilmu-ilmu ini yang telah disebutkan dan yang belum terhitung semuanya dalam al-Qur’an, semuanya tenggelam dalam lautan ma’rifah Allah SWT. Yaitu lautan af’al-Nya seperti lautan yang tiada bertepi yang dimana jika seluruh air laut ini dijadikan tinta untuk menulis kalimat-kalimat-Nya maka akan habis laut itu sebelum menulis seluruh kalimat-kalimat itu.
Dan tidak ada yang paham akan matahari, bulan, gerhana, pergerakan dari siang ke malam, dari malam kesiang kecuali orang-orang yang paham, ahli dalam ilmu pergerakan dan itu merupakan ilmu tersendiri. Maka makna dari ayat al-Qur’an surat al-Infithor ayat 6-7: Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang Telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,
Surat al-Hijr: Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Maka bertafakurlah dengan al-Qur’an dan pelajari salami, dalami inti dan hal-hal yang luar biasa darinya maka kita akan menemukan kumpulan-kumpula dari semua ilmu.
b. Pendapat Imam Jalaludin Syuyuti
Imam al-Ghazali kemudian muncul seorang ulama yang mempunyai metode serupa yaitu Jalaludin Syuyuti dalam kitabnya al-Itqan yang memberikan penjelasan yang jelas dan luas dalam pembahasan pada bab 65 dari kitabnya. Begitu juga beliau memberikan penjelasan yang jelas dan terperinci dalam kitabnya al-Iklil fi Istimbaathi at-Tanzil. Dimana di dalamnya beliau sandarkan pendapatnya kepada al-Qur’an, hadist dan atsar sahabat bahwa al-Qur’an memuat seluruh ilmu-ilmu. Di antara dalil-dalilnya adalah:
Surat al-An’am ayat 38: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Surat an-Nahl ayat 89: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Sedangkan dalil-dalil dari hadist yaitu apa yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan terjadi fitnah bencana, para sahabat bertanya apa solusi jalan keluar dari itu ya Nabi? Nabi SAW bersabda: kitab Allah di dalamnya terdapat berita-berita tentang hal hal terdahulu berita-berita yang akan terjadi dan hukum-hukum yang menjadi hakmu”.
Kemudian dalil-dalil yang berupa atsar yaitu perkataan Sa’id Ibnu Masyur bahwa barang siapa yang menginginkan ilmu maka ia harus menguasai al-Qur’an karena ia mencakup ilmu terdahulu dan sekarang.
Juga dari perkataan Ibnu Hatim dari Ibnu Mas’ud bahwa tiap ilmu itu terdapat di dalam al-Qur’an dan menerangkan kepada kita tentang segala sesuatu.
Kemudian disebutkan bahwa sebagian ulama menyimpulkan bahwa ketika umur Nabi SAW memasuki 63 tahun menyebutkan bahwa ayat ke sebelas dari surat munafiqun yang berbunyi: Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila Telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha mengenal apa yang kamu kerjakan.
c. Pendapat Abu Fadhl Mursyi
Abu Fadhl Mursyi berpendapat dalam tafsirnya bahwa al-Qur’an menghimpun seluruh ilmu-ilmu dari orang-orang yang terdahulu hingga orang-orang kemudian dan tidak ada satupun yang luput di dalamnya. Dimana setelah nabi SAW mendapatkannya dari wahyu Allah SWT, kemudian mewariskannya kepada para Khulafa ar-Rasyidin yang kemudian diwariskan kepada para tabi’in. Abu Fadhl berkata kalaulah aku kehilangan otakku, aku akan menemukannya di dalam al-Qur’an.
Kemudian mulailah perkembangan yang lebih luas setelah masa tabi’in dari segi ilmu pengetahuan, seni, ilmu makharijul huruf, jumlah huruf, jumlah kalimat, jumlah ayat, surat, tanda-tanda al-Qur’an, jumlah ayat sajdah dan sisi pengajarannya, hingga pembahasan tentang kalimat-kalimat mutasyabihat, perubahan ayat, hingga muncul istilah qarri (qurra).
Setelah itu munculnya para ahli nahwu yang membahas tentang perubahan kalimat, dari kata benda, kata kerja, huruf-huruf, kata kerja transitif intransitif dan lain-lain. Kemudian para ahli tafsir yang membahas akan lafadz-lafadz seperti satu lafadz bermakna satu, satu lafadz bermakna dua dan terkadang banyak, penjelasan tentang makna samar, penjelasan antara dua kalimat dan dua makna kemudian memilih diantara dua hal tersebut.
Para ahli ushul juga memunculkan pembahasan seperti dalil-dalil yang pasti, seperti pada firman Allah surat al-Anbiya’ ayat 22: Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
Dari ayat ini muncul kesimpulan bahwa Allah mempunyai sifat Esa pada dzat-Nya, keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kemahatinggian ilmu-Nya, yang kemudian disebut ilmu ushuluddin. Kemudian muncul sebagian yang lainnya yang membahas akan makna lafadz-lafadz seperti keumuman dan kekhususan lafadz dan dari sana muncul istilah hakekat, majaz, idhmar, nash, dzahir, mujmal, muhkam mutasabih, amar, larangan, nasikh, dan lain-lain. Yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh. Kemudian muncul lainnya membahas tentang halal, haram, hukum-hukum yang berlandaskan ushul fiqh dan cabangnya yang kemudian ilmu ini dikenal dengan ilmu fiqh.
Selain ilmu-ilmu di atas yang telah disebutkan, terdapat juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu sejarah yang membicarakan tentang kisah umat terdahulu, umat yang sudah punah, sejarah permulaan dunia, permulaan sesuatu.
Kemudian hikmah, peringatan-peringatan untuk umat selanjutnya, permisalan, nasehat, janji, peringatan, berita gembira, ingat akan mati/kematian, padang mahsar, perhitungan amal, balasan, syurga, neraka. Cerita Nabi Yusuf dengan penghuni lain dipenjara dan ihwal ta’bir mimpi.
Kemudian ada yang lain yang membahas ilmu pembagian harta warisan lewat ilmu faraidh, pembagian ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8, hingga kepermasalahan wasiat. Kemudian yang lainnya membahas tentang siang, malam, matahari, bulan, tempat terbenam, tempat terbit sehingga muncul ilmu waktu (falak, perbintangan). Di samping itu ada yang membahas tentang syair-syair, kebagusan kata, tempat permulaan kata, pemisah ‘ijaz, yang kemudian dikenal dengan ilmu bayan, ma’ani dan badi’.
Ilmu-ilmu yang telah disebutkan diatas merupakan ilmu-ilmu yang muncul ketika awal-awal Islam yang setelah itu muncul ilmu-ilmu di kemudian hari seperti kedokteran, perbintangan, geografi, tehnik dan lain-lain.
Penolakan Terhadap Tafsir Ilmi
a. Penolakan Abu Hayyan al-Andalusi Terhadap Tafsir Ilmy
Kita akan melihat abu Hayyan al-Andalusi dalam banyak penafsirannya menyerang al-Fakhru ar-Razi, terhadap tendensi ilmiyahnya dalam tafsirannya, serta mengangkat suaranya dihadapan orang yang menggunakan visi dan paradigma yang disebutnya sebagai berlebihan, terkontaminasi, misalnya seperti pernyataan dia ketika menafsirkan firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah ayat 106: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Para mufassir dalam hal ini telah membicarakan esensi nasakh secara syari’ termasuk klasifikasinya, serta mana yang disepakati, dan mana yang diperselisihkan, serta secara logika diperbolehkan dan secara syari’ terjadi. Dan mengapa secara dinaskh serta hukum-hukum naskh dan bukti-bukti hukum tersebut yang lain. Semua ini merupakan pokok bahasan dalam bidang ilmu ushul fiqh, sehingga dalam hal ini seluruhya masalah akan dibahas. Beginilah kebiyasaan kita, bahwa tiap kaidah ilmu pengetahuan, untuk mengukuhkannya harus dikembalikan pada ilmu tersebut. Kita bisa memberlakukanya terhadap ilmu tafsir, yang kaidah tersebut harus diserahkan pada ilmu pengetahuan itu sendiri.
b. Penolakan Muhammad Rasyid Ridha Terhadap Tafsir Ilmy
Meskipun dalam tafsir al-Qur’an As-Syeikh Muhammad abduh ada visi dan paradigma ilmiyah, namun Muhammad Rasyid Ridha, muridnya sendiri, dalam pendahuluan kitab tafsirnya mengecam orang yang menggunakan paradigma Ilmiah dalam tafsir mereka. Dia mengecam ulama klasik, antara lain Al-Fakhru ar-Razzi, dan ulama kontemporer lainnya Thantawi Jauhari, Al-Fakhru ar-Razi bahwa adanya ilmu eksak dan alam serta ilmu pengetahuan lainnya yang ada dalam agama sebagaimana yang terjadi pada zamannya, yang dimaksud dalam kitab tafsirnya, semisal astronomi serta horoscop yunani dan lain-lainnya. Dia juga telah diikuti oleh sebagian orang sekarang. Dengan memasukkan berbagai ilmu pengetahuan dan beragam disiplinnya yang amat luas, sebagaimana yang dilakukan. Dia memaparkan beberapa pokok bahasan yang panjang atas apa yang disebutnya sebagai penafsiran ayat, sesuai kosa kata yang ada, misalnya seperti langit dan bumi, dengan ilmu astronomi, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Yang justru menyeret kepada pembacanya dari tujuan Allah menurunkan Al-Qur’an. Memang, bahwa kebanyakan prasarana untuk memahami al-Qur’an, semacam berbagai disiplin bahasa arab yang disebutkan itu mutlak dibutuhkan. Termasuk istilah-istilah ushul dan kaidah-kaidahnya secara spesifik berkaitan dengan al-Qur’an, misalnya seperti kaidah nahwu, ma’ani, termasuk mengetahui tentang alam dan sunnatullah yang ada di dalamnya adalah sangat urgen. Semuanya itu memang ikut menentukan pemahaman terhadap al-Qur’an.
c. Penolakan Syeikh Muhammad Mushafa Al-Maraghi terhadap Tafsir Ilmy
Dalam pengantar Syeikh Muhammad Mushafa al-Maraghi dalam buku Al-Islam Wa at-Thibbu al-Hadist (Islam dan kedokteran modern) karya dr. abdul Aziz Ismail beliau menolak visi dan tafsir ilmiah, meskipun beliau tetap memuji buku tersebut, juga memuji penulisnya. Sebagaimana pernyataan dia: berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan, bahwa al-Qur’an ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis, dengan model pendidikan yang sudah dikenal. Namun saya ingin menegaskan bahwa al-Qur’an memang telah membawa dasar-dasar secara general apa saja yang bisa dipersepsikan oleh manusia berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan. Agar mereka sampai pada tataran (manusia) sempurna secara fisiologis maupun psikologis. Dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup.
Meskipun Syeikh Muhammad Mushafa al-Maraghi visi dan paradigma tafsir al-Qur’an ilmiah, akan tetapi beliau berusaha memadukan karena mengikuti metodologi gurunya, Muhammad abduh dalam mengompromikan antara Islam dengan speradaban Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut, dengan sikap para pendukung dan penganjurnya. Karena itu, beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiyah yang fixed itu ada kesesuaian, kemudian jika menafsirkan ayat tersebut berdasarkan realitas ilmiyah tadi, misalnya pernyataan beliau: “Kita tidak boleh menyeret ayat tertentu dalam zona sains sehingga kita bisa menafsirkannya, juga sains dalam zona ayat, akan tetapi bila tektualitas ayat dengan realitas ilmiah ada kesesuaian, maka kita bisa menafsirkannya dengan realitas tersebut”.
Berangkat dari sini dapat dipahami bahwa As-Syaikh al-Maraghi hanya menolak menjinakkan ayat-ayat al-Qur’an pada teori-teori ilmiah, sedangkan menjinakkan ayat-ayat tersebut dalam realitas yang fixed, serta kaidah-kaidah yang tetap, maka untuk melakukan semuanya no problem.
Demikian nampak jelas adanya perbedaan antara sikap As-Syeikh Mahmud Syaltut terhadap visi dan paradigma tafsir Al-Qur’an ilmiah dengan sikap As-Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi. Sikap As-Syeikh Mahmud Syaltut ini berpijak pada penolakan yang tegas dan jelas terhadap visi dan paradigma di atas. Sedangkan As-Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi, kita temukan sebagai sikap kompromi, yang bukan berate menolak atau menerima sikap yang tegas dan jelas.
C. Urgensi Tafsir Ilmi Dalam Ilmu Pengetahuan
Kajian tentang aspek-aspek ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai jalan untuk menemukan petunjuk dan metode memahaminya, adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh perkembangan zaman dan metode modern. Masyarakat tidak akan bisa maju tanpa adanya bimbingan dari al-Qur’an yang merupakan kunci kebahagiaan, sementara pengamalan ajaran-ajaran tidak akan terwujud kecuali dengan mempelajari tafsir serta mengetahui makna-maknanya. Begitu halnya Tafsir Ilmy, al-Ghazali mengajarkan al-Qur’an hanya menjadi jelas bagi mereka yang mau mempelajari ilmu pengetahuan. Seorang tidak akan memahami al-Qura’an tanpa bisa dan berpengetahuan bahasa arab. Dengan demikian bukannya ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam Al-Qur’an.
Adapun bukti bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak kandungan tentang ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat kita lihat pada pembahasan ini
a. Fenomena al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
Dewasa ini al-Qur’an lebih banyak dipahami oleh masyarakat sebagai kitab sakral dan dan ritual yang telah mengkristal dalam bentuk budaya dan adapt istiadat. Akibatnya, pemahaman terhadap al-Qur’an sudah mulai keluar dari fungsi hidayahnya sebagaimana telah ditunjukkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Ia hanya dipandang sebagai dokumen lama yang telah kehilangan ruhnya. Al-Qur’an yang berupa naskah itu, dianggap memiliki nilai sakti atau petuah yang mengandung daya penangkal bala’ dan untuk menjauhkan manusia dari mara bahaya, bahkan al-Qur’an sekarang ini banyak dipakai sebagai alat legitiminasi dan symbol untuk memberikan justifikasi kepada keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat subyektif.
Di sisi lain masyarakat dalam bertindak, berilmu pengetahuan, berpolitik, berprilaku ekonomi, bersosialisasi, pendidikan, dan dimensi-dimensi lain tidak merujuk secara langsung kepada kitab suci Al-Qur’an. Melainkan merujuk kepada kitab-kitab atau buku-buku sains, yang didalamnya memuat pandangan hidup kapitalis, sosialis, dan materialis sehingga akibat dari semua itu umat manusia dalam meniti kehidupannya banyak yang keluar dari petunjuk yang telah digariskan oleh al-Qur’an itu sendiri.
Memahami konsep Al-Qur’an tentang sains modern dan teknologi, tidak di lihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung membicarakan tentang teori-teori ilmiah melainkan harus dilihat adakah ayat-ayat Al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan. Demikian juga harus meletakkan al-Qur’an pada proprsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesuciannya.
Sementara itu, menurut Jalaluddin Rahmad, setidaknya ada lima pendekatan yang membicarakan hubungan Islam (Al-Qur’an), sains, dan teknologi. Pertama, menunjukkan bagaimana Al-Qur’an mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi, kedua, mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi, ketiga, membahas secara falsafi nisbah islam, sains dan teknologi.
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan menggunakan pendekatan yang disebutkan pertama umat islam sampai abad ketiga belas, selama lima abad secara terus mendrus telah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari pada tokoh-tokoh ilmuan muslim seperti Ibnu sina, Jabir Ibn Hyan, al-Farobi dan tokoh-tokoh ilmuan lainnya. Keunggulan umat islam atas bangsa-bangsa lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini digambarkan secara ekspresif oleh ibn Taimiyah sebagai berikut:
Kaum muslim mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat kenabian (agama) maupun rasional, yang juga pernah dikembangkan oleh umat-umat sebelumnya. Tapi mereka orang-orang muslim itu memiliki keunggulan dengan ilmu pengetahuan yang tidak dipunyai oleh umat-umat yang lain. Ilmu pengetahuan rasional dari umat-umat lain yang sampai ketangan orang muslim kemudian dibersihkan dari patokan-patokan yang palsu, dan ditambahkan kepadanya unsure kebenaran sehingga orang-orang muslim itu menjadi lebih ungul dari pada orang lain.
Dimasa sekarang banyak kita temukan orang-orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan Al-Qur’an dan untuk menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab yang agung seperti ini.
Motif para ulama terdahulu dalam memandang terdahulu dalam memandang Al-Qur’an sebagai sumber seluruh ilmu itu lahir dari keyakinan terhadap komprehensifnya Al-Qur’an, tetapi ulama sekarang disamping meyakini tentang hal ini, lebih menekankan pembuktian akan keajaiban Al-Qur’an dalam bidang keilmuan karena itu mereka mencoba mencocokkan penemuan-penemuan sains kontemporer.
Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak ada penemuan baru sains yang tidak diramalkan oleh Al-Qur’an misalnya Al-Thantawi dalam tafsir Al-Qur’annya, mencoba mencarikan hasil-hasil ilmu kealaman dari Al-Qur’anm dan ia takut tidak bisa bisa hidup cukup lama untuk menempatkan seluruh penemuan-penemuan sains dan teknologi di dalam al-Qur’an namun beliau berbahagia karena penemuan sains sampai sekarang masih menunjukkan kekuatan profetis Al-Qur’an.
Adapun beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan disiplin Ilmu adalah sebagai berikut:
Tentang pertanian: ada dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 63: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.
Tentang pelayaran: QS. Al-Kahfi ayat 79: Artinya: Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan juga Al-Qur’an menyebutkan tentang alat-alat masak, makan, minum, dan semua yang ada di dunia ini melalui ayat 37 surat Al-An’am sebagai berikut: Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah Kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu tentang waktu turunnya hujan (ar-Ra’du ayat 12-13), pembentukan awan (Al-Waqi’ah ayat 78-79), pergerakan angin (Fathir ayat 9), dan lain sebagainya
C. ANALISIS
Dari pandangan tentang Tafsir Ilmy tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya dalam Al-Qur’an itu ada ajakan ilmiah yang berdiri atas dasar prinsip pembebasan akal dari tahayul dan kemerdekaan berpikir al-Qur’an menyuruh manusia memperhatikan alam. Allah telah menyuruh kita untuk memperhatikan wahyunya meskipun ayat-ayat itu secara tegas dan khusus tidak ditunjukkan kepada para ilmuan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti ayat-ayat tersebut.
Adapun tentang pandangan ulama terhadap Tafsir Ilmy sebagian ada yang mendukung dan menolaknya.
Sebagian ulama mendukung Tafsir Ilmy dan bersikap terbuka, sehingga mereka menjadikan al-Qur’an sebagai mu’jizat ilmiah, oleh karena itu mencakup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern. Al-Qur’an itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu, ia mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun akan terjadi kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hokum alam yang dapat kita saksikan. Fenomena-fenomena alam yang dapat kita saksikan dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai yang baru. Padahal semua itu bukan hal yang baru menurut al-Qur’an, sebab kesemuanya telah diungkap dan di isyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian ulama yang menolak Tafsir Ilmy, mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah yang jelas terbukti tidak benar berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori tersebut bersifat relatif. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu masuk lebih jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, oleh karenanya ia tidak tunduk kepada teori-teori itu, tidak pula mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Sebaliknya menurut mereka, kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat dan hal lain yang tidak perlu diungkap dalam kaitan dengan pensyari’atan agama islam dan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk. Oleh karena inilah kita harus menjauhkan Al-Qur’an dari pemijiran-pemikiran yang mengada-ngada dan kita tidak boleh menundukkan kepada teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah.
Terakhir, menurut penulis Tafsir Ilmy ini bersifat moderat dengan alasan:
1. Di dalam al-Qur’an memang secara jelas banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan
2. Kita sangat perlu memahami hikmah-hikmah dan rahasia yang di kandung oleh ayat kauniyah. Mengingat ayat tersebut tidak saja dipahami bangsa arab, akan tetapi seluruh umat manusia, sebab al-Qur’an rahmatallilalamin
3. Kalaulah kita tetap mengandalkan hasil penafsiran ulama terdahulu yang mana situasi, kondisi, sangat terbatas dan berbeda dengan sekarang. Tehnologi semakin canggih, misalnya cloning bayi tabung, pencangkokan jantung dan lain sebagainya.
4. Kajian tafsir ilmi dapat diterima sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat dan tidak menekan lafadz-lafadznya, tidak memaksa diri secara berlebihan untuk mengangkat makna ilmiah tersebut.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Tafsir Ilmy dalam kitab tafsir wal mufassirun dijelaskan bahwa Tafsir Ilmy adalah tafsir yang menjelaskan istilah-istilah ilmiah dalam ayat al-Qur’an dan berusaha untuk menjelaskan wawasan keilmuan dan pendapat para filosofis tentang persoalan ilmu pengetahuan.
2. Pandangan ulama tentang tafsir ilmi ada dua, memperbolehkan dan menolaknya
a. Memperbolehkan, berpandangan bahwa dalam al-Qur’an terdapat banyak penjelasan tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan
b. Menolak, berlandaskan ilmu pengetahuan yang ditemukan manusia selalu relatif tidak berlaku sepanjang masa, tetapi lain dengan al-Qur’an yang merupakan kitab petunjuk bagi seluruh alam.
3. Urgensi dari metode Tafsir Ilmy adalah bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Tafsir Ilmy memberikan jalan untuk menemukan petunjuk dan metode al-Qur’an bagi perkembangan zaman yang semakin modern
B. SARAN
Penulis sadar dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalannya, untuk itu kritik yang konstruktif penulis harapkan untuk menyempurnakan kekurangan ini, semoga dapat bermanfaat dan dapat dijadikan acuan bersama dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta: Raja wali Pers,1994
Al-Farmawi, Abd al-Hayyan, Al-Bidayah fi Tarsir al-Maudhu’I, Mesir, Maktabah Jumhuriyah, 1977.
Al-Fayumi, Mursyi Ibrahim, Dirasah Fi Tafsir al-Maudhu’I, Kairo: Dar-Taufiqiyah,1980.
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Dar al-Bayariq, Beirut, 1982.
Fath ‘Abd al-Rahman, Ittijah al-tafsir fi al-qam al-robi’ ‘Asyar, Mamlakah al-‘Arabiyah-Syu’udiyah, 1986, Hal. 549.
Husain Adhabi, M., Al-Tafsir Al-Mufassirun, Beirut, 1976.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di kampus, Bandung, Mizan, 1991
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan, Jakarta, Paramadina, 1992.
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994.
Nor Ichwan, M., Tafsir ‘Ilmy, Memahami al-Qur’an Melalui Sains Modern, Jogjakarta, Kudus, 2004.
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.52 0 komentar
Label: studi islam
TRIKOTOMI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI MENURUT CLIFFORD GEERTZ
TRIKOTOMI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI MENURUT CLIFFORD GEERTZ
(Kajian Antropologis terhadap Living Islam di Indonesia)
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
PENDAHULUAN
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak mereduksi eksistensi agama dalam masyarakat. Setiap masyarakat tetap membutuhkan agama yang diyakininya benar. Menurut Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, bahwa tidak ada agama yang salah di dunia ini. Semua agama benar menurut mode masing-masing. Semua agama memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.
Untuk itu, kajian agama selalu akan terus berkembang dan menarik. Karena itulah kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih komprehensif, syamil dan kamil.
Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrak dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara yang digunakan disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah, dapat pula digunakan untuk memahami agama. Untuk itu, Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang selama ini digunakan, akan dipandang pincang tanpa memahami realitas yang melingkupi manusia yang tercermin dari budayanya.
Melalui pendekatan antropologi, agama yang berada pada daratan empirik akan dapat dilihat latar belakang kemunculan dan perumusannya. Hal ini dikarenakan antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi pulalah dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi dan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Salah satu di antara para peneliti agama yang berupaya mengkaji Islam dari perspektif antropologi ini adalah Geertz sendiri. Penelitiannya yang telah menghasilkan trikotomi Agama Jawa tersebut sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia hingga menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa.
Karya Geertz sangat populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Trikotomi Geertz ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
A. Prosedur Penelitian Clifford Geertz
Penelitian antropologis yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953-September 1954 merupakan salah satu bentuk penelitian yang meneliti hubungan agama dengan mekanisme pengorganisasian sosial ( social organization). Penelitian ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Laporan Geertz menyuguhkan tiga varian agama Jawa: abangan, santri, dan priyayi. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa ialah kemampuan-nya mendeskripsikan secara detail ketiganya dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiganya.
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerja yang digunakan Geertz berdasarkan obyektifitas peneliti profesional.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa diasosiasikan kepada para petani, buruh kecil dan proletar kota yang penuh dengan tradisi leluhur yang berupa upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, serta tradisi petungan, tingkeban, babaran, pasaran, pitonan, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan hal-hal gaib yang menunjuk kepada tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar -terlepas dari etnis Cina- diasosiasikan kepada petani, pengusaha kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial dimana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataannya yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
B. Temuan Clifford Geertz
1. Tiga Varian Agama Jawa
a. Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dan sebagainya. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa kromo inggil yang resmi. Bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: 1) yang berkisar krisis kehidupan; 2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa; 3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (nyadranan); 4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan. Jadi kecocokan terhadap salah satu dari beberapa dukun lain adalah merupakan ukuran mandhi atau tidaknya dukun tersebut.
b. Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluarga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorganisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
c. Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etika, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
2. Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan:
1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat;
2. Sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3. Faktor yang mempertajam konflik:
a. Konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
b. Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
c. Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
d. Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Adapun hal-hal yang meredakan konflik tersebut antara lain:
a. Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
b. Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya kepada kelas, tetangga, dan sebagainya cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok timbul, yang bias memanikan perantara.
c. Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial terjadi antara varian priyayi dan santri yang tidak sepakat dalam banyak hal dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideologi abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari raya Idul Fitri yang merupakan hari besar bagi umat Islam setelah berpuasa Ramadhan.
C. Analisis Temuan Clifford Geertz
Kajian Geertz tentang varian Islam di Jawa memang sangat monumental. Namun sebagai peneliti agama yang berasal berasal dari komunitas akademik sosial murni, sosok Geertz beserta kajian religius antropologisnya masih perlu untuk dianalisis secara komperhensif. Analisis dan kritik atas hasil penelitian Geertz tak kunjung usai hingga saat ini. Sebagaimana yang ditunjukkan Azumardi Azra dalam artikelnya: Islam Observed Dan Santri, Azra menilai Geertz lebih melihat masyarakat Muslim sebagai 'teks' sosial-kultural daripada entitas yang pada dasarnya juga terbentuk, atau setidaknya dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan tertulis. Teks-teks ini mengalami transmisi dari satu generasi masyarakat Muslim ke generasi berikutnya, yang pada gilirannya, sedikit banyak, juga dipengaruhi lingkungan sosial-kultural para penulisnya. Tetapi, satu hal jelas, bahwa teks-teks keagamaan itu tetap terkait erat dengan scriptures awal dan dasar. Sebab itu, keliru jika orang memandang masyarakat keagamaan sebagai teks sosial-kultural belaka, yang tidak ada hubungannya dengan scriptures.
Azra menegaskan bahwa dikotomi masyarakat Muslim santri yang dikontraskan dengan masyarakat Muslim abangan sebagaimana dikaji Geertz dalam bukunya merupakan hasil dari 'thick description' yang lebih menekankan pada pandangan bahwa masyarakat keagamaan adalah teks sosial-keagamaan daripada entitas lainnya. Hal inilah yang juga dikritik sejarawan Marshall GS Hodgson (The Venture of Islam, Vol 2, 1974), bahwa keunggulan kajian Geertz tentang masyarakat Muslim Jawa ditandai kesalahan sistematik besar. Yaitu, ketika Geertz mengidentifikasi kaum santri berdasarkan kerangka yang diberikan kaum skripturalis; dan pada saat yang sama mengelompokkan kaum Muslim lainnya ke dalam kelompok abangan. Dan kelompok terakhir ini secara simplistis dia sebut sebagai lebih menganut tradisi Hindu-Budha daripada Islam. Bertahannya kelompok abangan, menurut Geertz, terutama karena Islam di Indonesia telah lama terputus dengan 'pusat-pusat' Islam di Timur Tengah seperti Makkah, Madinah, dan bahkan Kairo. Argumen Geertz ini jelas keliru, karena sejak masa awal perkembangannya, Islam di Indonesia tidak pernah terputus dengan Makkah, Madinah, dan belakangan Kairo. Adanya 'jaringan ulama' antara Haramayn dan Dunia Melayu-Indonesia membuktikan, hubungan antara Islam di Indonesia dengan Islam di tempat-tempat lain tidak pernah terputus.
Kritik lain muncul dari Harsya W. Bachtiar yang mengatakan bahwa kaum abangan tidak harus mengacu pada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi kecudayaan rakyat biasa, wong cilik. Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan. Demikian pula mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan rendahan dan karena banyak orang priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari golongan rendahan yang berada dalam kedudukan untuk mempengaruhi mereka, maka apa yang di sini disebut “kepercayaan rakyat”atau kepercayaan animistik, merupakan sesuatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya.
Senada dengan dua kritik di atas, Parsudi Suparlan mengatakan, bahwa sehubungan dengan penggolongan abangan dan santri, kelemahannya adalah karena istilah abangan adalah istilah donatif, dan bukanlah istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri. Karena dalam istilah abangan tercakup isinya yang bersifat merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan oleh mereka yang taat beribadah untuk menamakan mereka yang tidak atau kurang taat. Sedangkan mereka yang tidak taat menjalankan ibadah biasanya menamakan diri mereka bukan sebagai abangan, tetapi sebagai orang Islam. Sedangkan istilah santri dapat berfungsi sebagai istilah donatif maupun sebagai istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang lebih memperhatikan situasi empiris orang Islam dalam konteks lokal. Kehebatan Geertz adalah pada kemampuan analitik teoritisnya dalam memahami dan menjelaskan fenomena orang Islam seperti yang dia pelajari di Mojokuto. Pengaruh Geertz melampaui batas disiplin ilmu antropologi. Sarjana wilayah Asia Tenggara, apapun disiplinnya, termasuk Agama, Sejarah, Politik, dan Sosiologi, tidak melewatkan karya-karya Geertz. Sarjana-sarjana Indonesia yang memodifikasi teori Geertz antara lain Harsja Bachtiar, Supardi Suparlan, Kontjaraningrat, Zamakhsari Dhofier, dan para antropolog dan sarjana muda setelah mereka. Kajian-kajian agama dan Islam modern Indonesia dan Asia Tenggara juga tidak melewatkan karya-karya Geertz.
Mengenai istilah yang dipakai dalam bukunya, tentu saja bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan dan priyayi, karena istilah-istilah ini sudah dipakai meskipun di kalangan yang lebih terbatas. Namun, Geertz lah yang pertama-tama mensistematisasikan istilah-istilah ini sebagai mewakili kelompok-kelompok kultural yang signifikan. Kritik terhadap Geertz seputar penggunaan istilah priyayi (yang bersifat kelas) dan karenanya tidak cocok disandingkan dengan santri dan abangan (yang bersifat keagamaan), seputar kurangnya pemahaman Geertz terhadap teks-teks Islam sehingga menyangka bahwa tradisi selamatan di Jawa adalah murni bersifat lokal dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh normatif Islam, seputar dikotomi santri-abangan yang dikritik terlalu berat sehingga meniadakan orang-orang santri yang abangan atau abangan yang santri ataupun wilayah abu-abu, dan banyak aspek lainnya. Tapi yang jelas, dari Geertz lah para sarjana belajar tentang agama di Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin (2004) Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azra, Azumardi, Islam Observed Dan Santri, (http://www.republika.co.id/ korandetail.asp?, diakses 17 September 2007).
Connolly, Peter (1999) Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS.
Geertz, Clifford (1981) “The Religion of Java”, diterjemahkan Aswab Muhasin, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ma'ruf, Jamhari, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”, (
Taufiq, Akhmad, et. Al., (2004) Metodologi Studi Islam, Malang: Bayumedia Publishing.
Nata, Abuddin (2001) Metodologi Studi Islam, Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sembiring, Sri Alem, Refleksi Metodologis: Perjalanan Penelitian Menghasilkan Etnografi, (
Zuchron, Daniel, Trikotomi Geertz Yang Monumental (Disampaikan oleh dalam Diskusi Bulanan Staf PP. LAKPESDAM NU, 30 Mei 2006 di Gedung Perpustakaan PBNU) Dimuat 19/07/2006 oleh A. Fawaid, (http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=82, diakses 17 September 2007).
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.49 0 komentar
Label: studi islam