TAFSIR ILMI
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://asrori.blogspot.com
PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan yang cukup dan amal yang sempurna. Segala makhluk Tuhan indah dan berhikmah, namun kebanyakan manusia tidak menyadari keindahan dan hikmah tersebut dalam dirinya. Tuhan telah menciptakan manusia ini atas dua bagian, ada yang beriman dan ada pula yang kafir, sebagian mereka ada yang dapat mengerti keindahan dan hikmah alam serta ilmu pengetahuan yang ada. Hal ini disebabkan karena Tuhan memberikan pengetahuan kepada orang yang bersungguh-sungguh menunjukkan kemampuannya dan kesiapannya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Segala macam ilmu pengetahuan yang ada pada zaman dahulu sampai sekarang, semuanya termaktub dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Mas’ud: “Barang siapa ingin menjadi orang yang berilmu, maka pahamilah Al-Qur’an. Karena sesungguhnya segala ilmu yang ada di dunia ini ada di dalamnya”.
Dalam al-Qur’an hanya ada rumus-rumus dan indikasi-indikasi yang secara khusus bisa difahami oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memahaminya. Sahabat Ali ra mengatakan: “Siapa saja yang memahamh al-Qur’an, dimana dengan cara tersebut dia berusaha menafsirkan kalimat-kalimat ilmu, maka dia akan memperoleh petunjuk, bahwa al-Qur’an akan menunjukkan pada seluruh ilmu”.
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan penuntun bagi kehidupan manusia baik spiritual maupun material. Dan keduanya hanya bisa dikembangkan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu relevansinya dalam konteks sekarang ini bukanlah mencocokkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, melainkan mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an sebagai landasan berpijak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan metode penafsiran al-Qur’an yang didukung dan mendukung pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dilakukan oleh Tafsir Ilmy.
A. Pengertian Tafsir Ilmy
Mayoritas ulama tafsir dan mereka yang memiliki perhatian serius terhadap kajian al-Qur’an atau yang biasa disebut sebagai ‘ulum al-Qur’an sepakat memasukkan Tafsir Ilmy ini sebagai salah satu corak penafsiran yang secara metodologis merupakan bagian dari metode tafsir tahlily. Artinya, metode tafsir tahlily dalam operasionalnya mencakup beberapa corak penafsiran al-Qur’an, seperti corak tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-shufi, tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir al-falsafi, dan tafsir ‘ilmy.
Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa Tafsir Ilmy adalah usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan sains moderen sebagai alat bantunya. Ayat-ayat al-Qur’an disini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat.
Jadi yang dimaksud dengan tafsir ilmy adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam menghubungkan ayat-ayat kauniyah (al-ayat al-kauniyah) dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memelihara kemu’jizatan al-Qur’an.
Alasan utama yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang baik secara eksplisit maupun implisit memerintahkan manusia untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemu’jizatan al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern.
Bahwa, sekalipun al-Qur’an semula diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, namun sasaran utamanya bukanlah untuk kepentingan beliau saja, bahkan pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an tersebut lebih diperuntukkan bagi umat secara keseluruhan (rahmatan lil-alamin). Ini artinya bahwa al-Qur’an terbuka untuk siapapun juga dengan pendekatan dan perangkat analisis yang berbeda pula. Dengan kata lain meski ayat-ayat kauniyah ini secara tegas dan khusus tidak diperuntukkan kepada para ilmuan (saintist), namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti mamahami ayat-ayat kauniyah itu, sebab mereka yang memiliki sarana dan kompetensi untuk melakukan hal itu dibandingkan dengan yang lainnya.
Corak Tafsir Ilmy sebagai salah satu perangkat dalam memahami pesan-pesan Tuhan, kemunculannya disamping bertujuan ingin melihat seberapa jauh nilai kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek ilmu pengetahuan atau sains modern juga lebih dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa al-Qur’an pada dasarnya mencakup seluruh ilmu-ilmu, baik ilmu terdahulu, sekarang, maupun terkemudian.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan ada dalam surat al-An’am ayat 38 dan an-Nahl ayat 89 dan al-Ghasyiyah ayat 17-21 sebagai berikut:
QS. Al-An’am ayat 38: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
QS. An-Nahl ayat 89: Dan ingatlah akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
QS. Al-Ghaasyiyah ayat 17-21:Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan, Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an pada dasarnya telah mencakup “segala sesuatu”. Dalam konteks yang demikian, di dalam al-Qur’an juga terdapat segala macam ilmu pengetahuan.
B. Pandangan Ulama Tentang Tafsir Ilmy
Pendapat yang berkembang dan pendapat para ulama tentang Tafsir Ilmy terdapat berbagai jenis penafsiran dan pendapat tentang al-Qur’an yang menerangkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah kita maklumi bersama. Segala ilmu pengetahuan yang ada sesungguhnya terdapat di dalam al-Qur’an baik masa sekarang, maupun masa akan datang, di dalamnya tercakup pengetahuan agama, keyakinan, ilmu pengetahuan umum yang ada di dunia ini.
a. Pendapat Imam Al-Ghazali Tentang Tafsir ‘Ilmy
Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya Imam al-Ghazali pada zamannya merupakan ulama yang banyak memberikan perhatian terhadap al-Qur’an begitu juga tafsirnya. Dan salah satu bentuk karya terbaiknya yang dipersembahkan oleh dunia Islam adalah rumusan-rumusan tata cara memahami istilah-istilah al-Qur’an. Dan di dalam kitab al-Ihya’ (Ihya’ Ulumiddin) bab empat tentang adab membaca al-Qur’an dan tafsirnya dimana para ulama sering menukil pendapat ini yang menjelaskan bahwa al-Qur’an mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus macam ilmu pengetahuan. Karena menurut al-Ghazali setiap huruf adalah ilmu.
Dan Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Barang siapa yang ingin menguasai keseluruhan ilmu maka kuasai al-Qur’an.dan pada dasarnya setiap macam ilmu pengetahuan adalah salah satu dari sifat af’al Allah karena di dalam al-Qur’an disebutkan tentang dzat-Nya, sifat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Dan ini tidak terbatas serta tidak berujung dan telah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal itu.
Kemudian jika kita menela’ah kitab Jawahirul Qur’an yang dikarang setelah kitab ihya’ terdapat penjelasan yang lebih rinci dan luas tentang bab empat mengenai ilmu-ilmu agama dan pembagian-pembagian secara terperinci mengenai ilmu-ilmu di dalam al-Qur’an.
Imam al-Ghazali membagi ilmu-ilmu al-Qur’an menjadi dua bagian pertama ilmu kulit yang meliputi (ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu qiraat, ilmu makharijul khuruf, ilmu tasir). Kedua, ilmu isi yang meliputi (ilmu kisah orang-orang terdahulu, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh, ilmu tauhid dan hari kiamat, ilmu shirat mustaqim, ilmu akhlaq dan etika).
Kemudian pada bab lima Imam Ghazali menambahkan tentang metode mempelajari seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an seperti ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan, geografi, bentuk bumi, bentuk fisik hewan dan gerakan-gerakannya. Selain ilmu-ilmu yang telah disebutkan terdapat masih banyak ilmu-ilmu yang manusia capai, tetapi kemampuan manusia yang terbatas sehingga masih banyak ilmu-ilmu yang belum tertangkap. Dan Allah yang maha suci yang tidak terbatas dari segala keterbatasan.
Imam Ghazali menambahkan bahwa semua ilmu-ilmu ini yang telah disebutkan dan yang belum terhitung semuanya dalam al-Qur’an, semuanya tenggelam dalam lautan ma’rifah Allah SWT. Yaitu lautan af’al-Nya seperti lautan yang tiada bertepi yang dimana jika seluruh air laut ini dijadikan tinta untuk menulis kalimat-kalimat-Nya maka akan habis laut itu sebelum menulis seluruh kalimat-kalimat itu.
Dan tidak ada yang paham akan matahari, bulan, gerhana, pergerakan dari siang ke malam, dari malam kesiang kecuali orang-orang yang paham, ahli dalam ilmu pergerakan dan itu merupakan ilmu tersendiri. Maka makna dari ayat al-Qur’an surat al-Infithor ayat 6-7: Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang Telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,
Surat al-Hijr: Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Maka bertafakurlah dengan al-Qur’an dan pelajari salami, dalami inti dan hal-hal yang luar biasa darinya maka kita akan menemukan kumpulan-kumpula dari semua ilmu.
b. Pendapat Imam Jalaludin Syuyuti
Imam al-Ghazali kemudian muncul seorang ulama yang mempunyai metode serupa yaitu Jalaludin Syuyuti dalam kitabnya al-Itqan yang memberikan penjelasan yang jelas dan luas dalam pembahasan pada bab 65 dari kitabnya. Begitu juga beliau memberikan penjelasan yang jelas dan terperinci dalam kitabnya al-Iklil fi Istimbaathi at-Tanzil. Dimana di dalamnya beliau sandarkan pendapatnya kepada al-Qur’an, hadist dan atsar sahabat bahwa al-Qur’an memuat seluruh ilmu-ilmu. Di antara dalil-dalilnya adalah:
Surat al-An’am ayat 38: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Surat an-Nahl ayat 89: (Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Sedangkan dalil-dalil dari hadist yaitu apa yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan terjadi fitnah bencana, para sahabat bertanya apa solusi jalan keluar dari itu ya Nabi? Nabi SAW bersabda: kitab Allah di dalamnya terdapat berita-berita tentang hal hal terdahulu berita-berita yang akan terjadi dan hukum-hukum yang menjadi hakmu”.
Kemudian dalil-dalil yang berupa atsar yaitu perkataan Sa’id Ibnu Masyur bahwa barang siapa yang menginginkan ilmu maka ia harus menguasai al-Qur’an karena ia mencakup ilmu terdahulu dan sekarang.
Juga dari perkataan Ibnu Hatim dari Ibnu Mas’ud bahwa tiap ilmu itu terdapat di dalam al-Qur’an dan menerangkan kepada kita tentang segala sesuatu.
Kemudian disebutkan bahwa sebagian ulama menyimpulkan bahwa ketika umur Nabi SAW memasuki 63 tahun menyebutkan bahwa ayat ke sebelas dari surat munafiqun yang berbunyi: Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila Telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha mengenal apa yang kamu kerjakan.
c. Pendapat Abu Fadhl Mursyi
Abu Fadhl Mursyi berpendapat dalam tafsirnya bahwa al-Qur’an menghimpun seluruh ilmu-ilmu dari orang-orang yang terdahulu hingga orang-orang kemudian dan tidak ada satupun yang luput di dalamnya. Dimana setelah nabi SAW mendapatkannya dari wahyu Allah SWT, kemudian mewariskannya kepada para Khulafa ar-Rasyidin yang kemudian diwariskan kepada para tabi’in. Abu Fadhl berkata kalaulah aku kehilangan otakku, aku akan menemukannya di dalam al-Qur’an.
Kemudian mulailah perkembangan yang lebih luas setelah masa tabi’in dari segi ilmu pengetahuan, seni, ilmu makharijul huruf, jumlah huruf, jumlah kalimat, jumlah ayat, surat, tanda-tanda al-Qur’an, jumlah ayat sajdah dan sisi pengajarannya, hingga pembahasan tentang kalimat-kalimat mutasyabihat, perubahan ayat, hingga muncul istilah qarri (qurra).
Setelah itu munculnya para ahli nahwu yang membahas tentang perubahan kalimat, dari kata benda, kata kerja, huruf-huruf, kata kerja transitif intransitif dan lain-lain. Kemudian para ahli tafsir yang membahas akan lafadz-lafadz seperti satu lafadz bermakna satu, satu lafadz bermakna dua dan terkadang banyak, penjelasan tentang makna samar, penjelasan antara dua kalimat dan dua makna kemudian memilih diantara dua hal tersebut.
Para ahli ushul juga memunculkan pembahasan seperti dalil-dalil yang pasti, seperti pada firman Allah surat al-Anbiya’ ayat 22: Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
Dari ayat ini muncul kesimpulan bahwa Allah mempunyai sifat Esa pada dzat-Nya, keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kemahatinggian ilmu-Nya, yang kemudian disebut ilmu ushuluddin. Kemudian muncul sebagian yang lainnya yang membahas akan makna lafadz-lafadz seperti keumuman dan kekhususan lafadz dan dari sana muncul istilah hakekat, majaz, idhmar, nash, dzahir, mujmal, muhkam mutasabih, amar, larangan, nasikh, dan lain-lain. Yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh. Kemudian muncul lainnya membahas tentang halal, haram, hukum-hukum yang berlandaskan ushul fiqh dan cabangnya yang kemudian ilmu ini dikenal dengan ilmu fiqh.
Selain ilmu-ilmu di atas yang telah disebutkan, terdapat juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu sejarah yang membicarakan tentang kisah umat terdahulu, umat yang sudah punah, sejarah permulaan dunia, permulaan sesuatu.
Kemudian hikmah, peringatan-peringatan untuk umat selanjutnya, permisalan, nasehat, janji, peringatan, berita gembira, ingat akan mati/kematian, padang mahsar, perhitungan amal, balasan, syurga, neraka. Cerita Nabi Yusuf dengan penghuni lain dipenjara dan ihwal ta’bir mimpi.
Kemudian ada yang lain yang membahas ilmu pembagian harta warisan lewat ilmu faraidh, pembagian ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8, hingga kepermasalahan wasiat. Kemudian yang lainnya membahas tentang siang, malam, matahari, bulan, tempat terbenam, tempat terbit sehingga muncul ilmu waktu (falak, perbintangan). Di samping itu ada yang membahas tentang syair-syair, kebagusan kata, tempat permulaan kata, pemisah ‘ijaz, yang kemudian dikenal dengan ilmu bayan, ma’ani dan badi’.
Ilmu-ilmu yang telah disebutkan diatas merupakan ilmu-ilmu yang muncul ketika awal-awal Islam yang setelah itu muncul ilmu-ilmu di kemudian hari seperti kedokteran, perbintangan, geografi, tehnik dan lain-lain.
Penolakan Terhadap Tafsir Ilmi
a. Penolakan Abu Hayyan al-Andalusi Terhadap Tafsir Ilmy
Kita akan melihat abu Hayyan al-Andalusi dalam banyak penafsirannya menyerang al-Fakhru ar-Razi, terhadap tendensi ilmiyahnya dalam tafsirannya, serta mengangkat suaranya dihadapan orang yang menggunakan visi dan paradigma yang disebutnya sebagai berlebihan, terkontaminasi, misalnya seperti pernyataan dia ketika menafsirkan firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah ayat 106: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Para mufassir dalam hal ini telah membicarakan esensi nasakh secara syari’ termasuk klasifikasinya, serta mana yang disepakati, dan mana yang diperselisihkan, serta secara logika diperbolehkan dan secara syari’ terjadi. Dan mengapa secara dinaskh serta hukum-hukum naskh dan bukti-bukti hukum tersebut yang lain. Semua ini merupakan pokok bahasan dalam bidang ilmu ushul fiqh, sehingga dalam hal ini seluruhya masalah akan dibahas. Beginilah kebiyasaan kita, bahwa tiap kaidah ilmu pengetahuan, untuk mengukuhkannya harus dikembalikan pada ilmu tersebut. Kita bisa memberlakukanya terhadap ilmu tafsir, yang kaidah tersebut harus diserahkan pada ilmu pengetahuan itu sendiri.
b. Penolakan Muhammad Rasyid Ridha Terhadap Tafsir Ilmy
Meskipun dalam tafsir al-Qur’an As-Syeikh Muhammad abduh ada visi dan paradigma ilmiyah, namun Muhammad Rasyid Ridha, muridnya sendiri, dalam pendahuluan kitab tafsirnya mengecam orang yang menggunakan paradigma Ilmiah dalam tafsir mereka. Dia mengecam ulama klasik, antara lain Al-Fakhru ar-Razzi, dan ulama kontemporer lainnya Thantawi Jauhari, Al-Fakhru ar-Razi bahwa adanya ilmu eksak dan alam serta ilmu pengetahuan lainnya yang ada dalam agama sebagaimana yang terjadi pada zamannya, yang dimaksud dalam kitab tafsirnya, semisal astronomi serta horoscop yunani dan lain-lainnya. Dia juga telah diikuti oleh sebagian orang sekarang. Dengan memasukkan berbagai ilmu pengetahuan dan beragam disiplinnya yang amat luas, sebagaimana yang dilakukan. Dia memaparkan beberapa pokok bahasan yang panjang atas apa yang disebutnya sebagai penafsiran ayat, sesuai kosa kata yang ada, misalnya seperti langit dan bumi, dengan ilmu astronomi, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Yang justru menyeret kepada pembacanya dari tujuan Allah menurunkan Al-Qur’an. Memang, bahwa kebanyakan prasarana untuk memahami al-Qur’an, semacam berbagai disiplin bahasa arab yang disebutkan itu mutlak dibutuhkan. Termasuk istilah-istilah ushul dan kaidah-kaidahnya secara spesifik berkaitan dengan al-Qur’an, misalnya seperti kaidah nahwu, ma’ani, termasuk mengetahui tentang alam dan sunnatullah yang ada di dalamnya adalah sangat urgen. Semuanya itu memang ikut menentukan pemahaman terhadap al-Qur’an.
c. Penolakan Syeikh Muhammad Mushafa Al-Maraghi terhadap Tafsir Ilmy
Dalam pengantar Syeikh Muhammad Mushafa al-Maraghi dalam buku Al-Islam Wa at-Thibbu al-Hadist (Islam dan kedokteran modern) karya dr. abdul Aziz Ismail beliau menolak visi dan tafsir ilmiah, meskipun beliau tetap memuji buku tersebut, juga memuji penulisnya. Sebagaimana pernyataan dia: berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan, bahwa al-Qur’an ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis, dengan model pendidikan yang sudah dikenal. Namun saya ingin menegaskan bahwa al-Qur’an memang telah membawa dasar-dasar secara general apa saja yang bisa dipersepsikan oleh manusia berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan. Agar mereka sampai pada tataran (manusia) sempurna secara fisiologis maupun psikologis. Dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup.
Meskipun Syeikh Muhammad Mushafa al-Maraghi visi dan paradigma tafsir al-Qur’an ilmiah, akan tetapi beliau berusaha memadukan karena mengikuti metodologi gurunya, Muhammad abduh dalam mengompromikan antara Islam dengan speradaban Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut, dengan sikap para pendukung dan penganjurnya. Karena itu, beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiyah yang fixed itu ada kesesuaian, kemudian jika menafsirkan ayat tersebut berdasarkan realitas ilmiyah tadi, misalnya pernyataan beliau: “Kita tidak boleh menyeret ayat tertentu dalam zona sains sehingga kita bisa menafsirkannya, juga sains dalam zona ayat, akan tetapi bila tektualitas ayat dengan realitas ilmiah ada kesesuaian, maka kita bisa menafsirkannya dengan realitas tersebut”.
Berangkat dari sini dapat dipahami bahwa As-Syaikh al-Maraghi hanya menolak menjinakkan ayat-ayat al-Qur’an pada teori-teori ilmiah, sedangkan menjinakkan ayat-ayat tersebut dalam realitas yang fixed, serta kaidah-kaidah yang tetap, maka untuk melakukan semuanya no problem.
Demikian nampak jelas adanya perbedaan antara sikap As-Syeikh Mahmud Syaltut terhadap visi dan paradigma tafsir Al-Qur’an ilmiah dengan sikap As-Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi. Sikap As-Syeikh Mahmud Syaltut ini berpijak pada penolakan yang tegas dan jelas terhadap visi dan paradigma di atas. Sedangkan As-Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi, kita temukan sebagai sikap kompromi, yang bukan berate menolak atau menerima sikap yang tegas dan jelas.
C. Urgensi Tafsir Ilmi Dalam Ilmu Pengetahuan
Kajian tentang aspek-aspek ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai jalan untuk menemukan petunjuk dan metode memahaminya, adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh perkembangan zaman dan metode modern. Masyarakat tidak akan bisa maju tanpa adanya bimbingan dari al-Qur’an yang merupakan kunci kebahagiaan, sementara pengamalan ajaran-ajaran tidak akan terwujud kecuali dengan mempelajari tafsir serta mengetahui makna-maknanya. Begitu halnya Tafsir Ilmy, al-Ghazali mengajarkan al-Qur’an hanya menjadi jelas bagi mereka yang mau mempelajari ilmu pengetahuan. Seorang tidak akan memahami al-Qura’an tanpa bisa dan berpengetahuan bahasa arab. Dengan demikian bukannya ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam Al-Qur’an.
Adapun bukti bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak kandungan tentang ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat kita lihat pada pembahasan ini
a. Fenomena al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
Dewasa ini al-Qur’an lebih banyak dipahami oleh masyarakat sebagai kitab sakral dan dan ritual yang telah mengkristal dalam bentuk budaya dan adapt istiadat. Akibatnya, pemahaman terhadap al-Qur’an sudah mulai keluar dari fungsi hidayahnya sebagaimana telah ditunjukkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Ia hanya dipandang sebagai dokumen lama yang telah kehilangan ruhnya. Al-Qur’an yang berupa naskah itu, dianggap memiliki nilai sakti atau petuah yang mengandung daya penangkal bala’ dan untuk menjauhkan manusia dari mara bahaya, bahkan al-Qur’an sekarang ini banyak dipakai sebagai alat legitiminasi dan symbol untuk memberikan justifikasi kepada keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat subyektif.
Di sisi lain masyarakat dalam bertindak, berilmu pengetahuan, berpolitik, berprilaku ekonomi, bersosialisasi, pendidikan, dan dimensi-dimensi lain tidak merujuk secara langsung kepada kitab suci Al-Qur’an. Melainkan merujuk kepada kitab-kitab atau buku-buku sains, yang didalamnya memuat pandangan hidup kapitalis, sosialis, dan materialis sehingga akibat dari semua itu umat manusia dalam meniti kehidupannya banyak yang keluar dari petunjuk yang telah digariskan oleh al-Qur’an itu sendiri.
Memahami konsep Al-Qur’an tentang sains modern dan teknologi, tidak di lihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung membicarakan tentang teori-teori ilmiah melainkan harus dilihat adakah ayat-ayat Al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan. Demikian juga harus meletakkan al-Qur’an pada proprsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesuciannya.
Sementara itu, menurut Jalaluddin Rahmad, setidaknya ada lima pendekatan yang membicarakan hubungan Islam (Al-Qur’an), sains, dan teknologi. Pertama, menunjukkan bagaimana Al-Qur’an mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi, kedua, mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi, ketiga, membahas secara falsafi nisbah islam, sains dan teknologi.
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan menggunakan pendekatan yang disebutkan pertama umat islam sampai abad ketiga belas, selama lima abad secara terus mendrus telah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari pada tokoh-tokoh ilmuan muslim seperti Ibnu sina, Jabir Ibn Hyan, al-Farobi dan tokoh-tokoh ilmuan lainnya. Keunggulan umat islam atas bangsa-bangsa lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini digambarkan secara ekspresif oleh ibn Taimiyah sebagai berikut:
Kaum muslim mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat kenabian (agama) maupun rasional, yang juga pernah dikembangkan oleh umat-umat sebelumnya. Tapi mereka orang-orang muslim itu memiliki keunggulan dengan ilmu pengetahuan yang tidak dipunyai oleh umat-umat yang lain. Ilmu pengetahuan rasional dari umat-umat lain yang sampai ketangan orang muslim kemudian dibersihkan dari patokan-patokan yang palsu, dan ditambahkan kepadanya unsure kebenaran sehingga orang-orang muslim itu menjadi lebih ungul dari pada orang lain.
Dimasa sekarang banyak kita temukan orang-orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan Al-Qur’an dan untuk menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab yang agung seperti ini.
Motif para ulama terdahulu dalam memandang terdahulu dalam memandang Al-Qur’an sebagai sumber seluruh ilmu itu lahir dari keyakinan terhadap komprehensifnya Al-Qur’an, tetapi ulama sekarang disamping meyakini tentang hal ini, lebih menekankan pembuktian akan keajaiban Al-Qur’an dalam bidang keilmuan karena itu mereka mencoba mencocokkan penemuan-penemuan sains kontemporer.
Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak ada penemuan baru sains yang tidak diramalkan oleh Al-Qur’an misalnya Al-Thantawi dalam tafsir Al-Qur’annya, mencoba mencarikan hasil-hasil ilmu kealaman dari Al-Qur’anm dan ia takut tidak bisa bisa hidup cukup lama untuk menempatkan seluruh penemuan-penemuan sains dan teknologi di dalam al-Qur’an namun beliau berbahagia karena penemuan sains sampai sekarang masih menunjukkan kekuatan profetis Al-Qur’an.
Adapun beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan disiplin Ilmu adalah sebagai berikut:
Tentang pertanian: ada dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 63: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.
Tentang pelayaran: QS. Al-Kahfi ayat 79: Artinya: Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan juga Al-Qur’an menyebutkan tentang alat-alat masak, makan, minum, dan semua yang ada di dunia ini melalui ayat 37 surat Al-An’am sebagai berikut: Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah Kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu tentang waktu turunnya hujan (ar-Ra’du ayat 12-13), pembentukan awan (Al-Waqi’ah ayat 78-79), pergerakan angin (Fathir ayat 9), dan lain sebagainya
C. ANALISIS
Dari pandangan tentang Tafsir Ilmy tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya dalam Al-Qur’an itu ada ajakan ilmiah yang berdiri atas dasar prinsip pembebasan akal dari tahayul dan kemerdekaan berpikir al-Qur’an menyuruh manusia memperhatikan alam. Allah telah menyuruh kita untuk memperhatikan wahyunya meskipun ayat-ayat itu secara tegas dan khusus tidak ditunjukkan kepada para ilmuan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti ayat-ayat tersebut.
Adapun tentang pandangan ulama terhadap Tafsir Ilmy sebagian ada yang mendukung dan menolaknya.
Sebagian ulama mendukung Tafsir Ilmy dan bersikap terbuka, sehingga mereka menjadikan al-Qur’an sebagai mu’jizat ilmiah, oleh karena itu mencakup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern. Al-Qur’an itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu, ia mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun akan terjadi kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hokum alam yang dapat kita saksikan. Fenomena-fenomena alam yang dapat kita saksikan dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai yang baru. Padahal semua itu bukan hal yang baru menurut al-Qur’an, sebab kesemuanya telah diungkap dan di isyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian ulama yang menolak Tafsir Ilmy, mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah yang jelas terbukti tidak benar berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori tersebut bersifat relatif. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu masuk lebih jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, oleh karenanya ia tidak tunduk kepada teori-teori itu, tidak pula mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Sebaliknya menurut mereka, kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat dan hal lain yang tidak perlu diungkap dalam kaitan dengan pensyari’atan agama islam dan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk. Oleh karena inilah kita harus menjauhkan Al-Qur’an dari pemijiran-pemikiran yang mengada-ngada dan kita tidak boleh menundukkan kepada teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah.
Terakhir, menurut penulis Tafsir Ilmy ini bersifat moderat dengan alasan:
1. Di dalam al-Qur’an memang secara jelas banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan
2. Kita sangat perlu memahami hikmah-hikmah dan rahasia yang di kandung oleh ayat kauniyah. Mengingat ayat tersebut tidak saja dipahami bangsa arab, akan tetapi seluruh umat manusia, sebab al-Qur’an rahmatallilalamin
3. Kalaulah kita tetap mengandalkan hasil penafsiran ulama terdahulu yang mana situasi, kondisi, sangat terbatas dan berbeda dengan sekarang. Tehnologi semakin canggih, misalnya cloning bayi tabung, pencangkokan jantung dan lain sebagainya.
4. Kajian tafsir ilmi dapat diterima sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat dan tidak menekan lafadz-lafadznya, tidak memaksa diri secara berlebihan untuk mengangkat makna ilmiah tersebut.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Tafsir Ilmy dalam kitab tafsir wal mufassirun dijelaskan bahwa Tafsir Ilmy adalah tafsir yang menjelaskan istilah-istilah ilmiah dalam ayat al-Qur’an dan berusaha untuk menjelaskan wawasan keilmuan dan pendapat para filosofis tentang persoalan ilmu pengetahuan.
2. Pandangan ulama tentang tafsir ilmi ada dua, memperbolehkan dan menolaknya
a. Memperbolehkan, berpandangan bahwa dalam al-Qur’an terdapat banyak penjelasan tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan
b. Menolak, berlandaskan ilmu pengetahuan yang ditemukan manusia selalu relatif tidak berlaku sepanjang masa, tetapi lain dengan al-Qur’an yang merupakan kitab petunjuk bagi seluruh alam.
3. Urgensi dari metode Tafsir Ilmy adalah bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Tafsir Ilmy memberikan jalan untuk menemukan petunjuk dan metode al-Qur’an bagi perkembangan zaman yang semakin modern
B. SARAN
Penulis sadar dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalannya, untuk itu kritik yang konstruktif penulis harapkan untuk menyempurnakan kekurangan ini, semoga dapat bermanfaat dan dapat dijadikan acuan bersama dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta: Raja wali Pers,1994
Al-Farmawi, Abd al-Hayyan, Al-Bidayah fi Tarsir al-Maudhu’I, Mesir, Maktabah Jumhuriyah, 1977.
Al-Fayumi, Mursyi Ibrahim, Dirasah Fi Tafsir al-Maudhu’I, Kairo: Dar-Taufiqiyah,1980.
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Dar al-Bayariq, Beirut, 1982.
Fath ‘Abd al-Rahman, Ittijah al-tafsir fi al-qam al-robi’ ‘Asyar, Mamlakah al-‘Arabiyah-Syu’udiyah, 1986, Hal. 549.
Husain Adhabi, M., Al-Tafsir Al-Mufassirun, Beirut, 1976.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di kampus, Bandung, Mizan, 1991
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan, Jakarta, Paramadina, 1992.
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994.
Nor Ichwan, M., Tafsir ‘Ilmy, Memahami al-Qur’an Melalui Sains Modern, Jogjakarta, Kudus, 2004.
Selasa, 02 Desember 2008
TAFSIR ILMI
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.52 0 komentar
Label: studi islam
TRIKOTOMI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI MENURUT CLIFFORD GEERTZ
TRIKOTOMI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI MENURUT CLIFFORD GEERTZ
(Kajian Antropologis terhadap Living Islam di Indonesia)
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
PENDAHULUAN
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak mereduksi eksistensi agama dalam masyarakat. Setiap masyarakat tetap membutuhkan agama yang diyakininya benar. Menurut Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, bahwa tidak ada agama yang salah di dunia ini. Semua agama benar menurut mode masing-masing. Semua agama memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.
Untuk itu, kajian agama selalu akan terus berkembang dan menarik. Karena itulah kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih komprehensif, syamil dan kamil.
Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrak dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara yang digunakan disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah, dapat pula digunakan untuk memahami agama. Untuk itu, Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang selama ini digunakan, akan dipandang pincang tanpa memahami realitas yang melingkupi manusia yang tercermin dari budayanya.
Melalui pendekatan antropologi, agama yang berada pada daratan empirik akan dapat dilihat latar belakang kemunculan dan perumusannya. Hal ini dikarenakan antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi pulalah dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi dan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Salah satu di antara para peneliti agama yang berupaya mengkaji Islam dari perspektif antropologi ini adalah Geertz sendiri. Penelitiannya yang telah menghasilkan trikotomi Agama Jawa tersebut sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia hingga menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa.
Karya Geertz sangat populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Trikotomi Geertz ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
A. Prosedur Penelitian Clifford Geertz
Penelitian antropologis yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953-September 1954 merupakan salah satu bentuk penelitian yang meneliti hubungan agama dengan mekanisme pengorganisasian sosial ( social organization). Penelitian ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Laporan Geertz menyuguhkan tiga varian agama Jawa: abangan, santri, dan priyayi. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa ialah kemampuan-nya mendeskripsikan secara detail ketiganya dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiganya.
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerja yang digunakan Geertz berdasarkan obyektifitas peneliti profesional.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa diasosiasikan kepada para petani, buruh kecil dan proletar kota yang penuh dengan tradisi leluhur yang berupa upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, serta tradisi petungan, tingkeban, babaran, pasaran, pitonan, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan hal-hal gaib yang menunjuk kepada tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar -terlepas dari etnis Cina- diasosiasikan kepada petani, pengusaha kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial dimana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataannya yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
B. Temuan Clifford Geertz
1. Tiga Varian Agama Jawa
a. Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dan sebagainya. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa kromo inggil yang resmi. Bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: 1) yang berkisar krisis kehidupan; 2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa; 3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (nyadranan); 4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan. Jadi kecocokan terhadap salah satu dari beberapa dukun lain adalah merupakan ukuran mandhi atau tidaknya dukun tersebut.
b. Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluarga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorganisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
c. Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etika, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
2. Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan:
1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat;
2. Sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3. Faktor yang mempertajam konflik:
a. Konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
b. Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
c. Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
d. Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Adapun hal-hal yang meredakan konflik tersebut antara lain:
a. Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
b. Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya kepada kelas, tetangga, dan sebagainya cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok timbul, yang bias memanikan perantara.
c. Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial terjadi antara varian priyayi dan santri yang tidak sepakat dalam banyak hal dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideologi abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari raya Idul Fitri yang merupakan hari besar bagi umat Islam setelah berpuasa Ramadhan.
C. Analisis Temuan Clifford Geertz
Kajian Geertz tentang varian Islam di Jawa memang sangat monumental. Namun sebagai peneliti agama yang berasal berasal dari komunitas akademik sosial murni, sosok Geertz beserta kajian religius antropologisnya masih perlu untuk dianalisis secara komperhensif. Analisis dan kritik atas hasil penelitian Geertz tak kunjung usai hingga saat ini. Sebagaimana yang ditunjukkan Azumardi Azra dalam artikelnya: Islam Observed Dan Santri, Azra menilai Geertz lebih melihat masyarakat Muslim sebagai 'teks' sosial-kultural daripada entitas yang pada dasarnya juga terbentuk, atau setidaknya dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan tertulis. Teks-teks ini mengalami transmisi dari satu generasi masyarakat Muslim ke generasi berikutnya, yang pada gilirannya, sedikit banyak, juga dipengaruhi lingkungan sosial-kultural para penulisnya. Tetapi, satu hal jelas, bahwa teks-teks keagamaan itu tetap terkait erat dengan scriptures awal dan dasar. Sebab itu, keliru jika orang memandang masyarakat keagamaan sebagai teks sosial-kultural belaka, yang tidak ada hubungannya dengan scriptures.
Azra menegaskan bahwa dikotomi masyarakat Muslim santri yang dikontraskan dengan masyarakat Muslim abangan sebagaimana dikaji Geertz dalam bukunya merupakan hasil dari 'thick description' yang lebih menekankan pada pandangan bahwa masyarakat keagamaan adalah teks sosial-keagamaan daripada entitas lainnya. Hal inilah yang juga dikritik sejarawan Marshall GS Hodgson (The Venture of Islam, Vol 2, 1974), bahwa keunggulan kajian Geertz tentang masyarakat Muslim Jawa ditandai kesalahan sistematik besar. Yaitu, ketika Geertz mengidentifikasi kaum santri berdasarkan kerangka yang diberikan kaum skripturalis; dan pada saat yang sama mengelompokkan kaum Muslim lainnya ke dalam kelompok abangan. Dan kelompok terakhir ini secara simplistis dia sebut sebagai lebih menganut tradisi Hindu-Budha daripada Islam. Bertahannya kelompok abangan, menurut Geertz, terutama karena Islam di Indonesia telah lama terputus dengan 'pusat-pusat' Islam di Timur Tengah seperti Makkah, Madinah, dan bahkan Kairo. Argumen Geertz ini jelas keliru, karena sejak masa awal perkembangannya, Islam di Indonesia tidak pernah terputus dengan Makkah, Madinah, dan belakangan Kairo. Adanya 'jaringan ulama' antara Haramayn dan Dunia Melayu-Indonesia membuktikan, hubungan antara Islam di Indonesia dengan Islam di tempat-tempat lain tidak pernah terputus.
Kritik lain muncul dari Harsya W. Bachtiar yang mengatakan bahwa kaum abangan tidak harus mengacu pada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi kecudayaan rakyat biasa, wong cilik. Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan. Demikian pula mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan rendahan dan karena banyak orang priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari golongan rendahan yang berada dalam kedudukan untuk mempengaruhi mereka, maka apa yang di sini disebut “kepercayaan rakyat”atau kepercayaan animistik, merupakan sesuatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya.
Senada dengan dua kritik di atas, Parsudi Suparlan mengatakan, bahwa sehubungan dengan penggolongan abangan dan santri, kelemahannya adalah karena istilah abangan adalah istilah donatif, dan bukanlah istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri. Karena dalam istilah abangan tercakup isinya yang bersifat merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan oleh mereka yang taat beribadah untuk menamakan mereka yang tidak atau kurang taat. Sedangkan mereka yang tidak taat menjalankan ibadah biasanya menamakan diri mereka bukan sebagai abangan, tetapi sebagai orang Islam. Sedangkan istilah santri dapat berfungsi sebagai istilah donatif maupun sebagai istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang lebih memperhatikan situasi empiris orang Islam dalam konteks lokal. Kehebatan Geertz adalah pada kemampuan analitik teoritisnya dalam memahami dan menjelaskan fenomena orang Islam seperti yang dia pelajari di Mojokuto. Pengaruh Geertz melampaui batas disiplin ilmu antropologi. Sarjana wilayah Asia Tenggara, apapun disiplinnya, termasuk Agama, Sejarah, Politik, dan Sosiologi, tidak melewatkan karya-karya Geertz. Sarjana-sarjana Indonesia yang memodifikasi teori Geertz antara lain Harsja Bachtiar, Supardi Suparlan, Kontjaraningrat, Zamakhsari Dhofier, dan para antropolog dan sarjana muda setelah mereka. Kajian-kajian agama dan Islam modern Indonesia dan Asia Tenggara juga tidak melewatkan karya-karya Geertz.
Mengenai istilah yang dipakai dalam bukunya, tentu saja bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan dan priyayi, karena istilah-istilah ini sudah dipakai meskipun di kalangan yang lebih terbatas. Namun, Geertz lah yang pertama-tama mensistematisasikan istilah-istilah ini sebagai mewakili kelompok-kelompok kultural yang signifikan. Kritik terhadap Geertz seputar penggunaan istilah priyayi (yang bersifat kelas) dan karenanya tidak cocok disandingkan dengan santri dan abangan (yang bersifat keagamaan), seputar kurangnya pemahaman Geertz terhadap teks-teks Islam sehingga menyangka bahwa tradisi selamatan di Jawa adalah murni bersifat lokal dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh normatif Islam, seputar dikotomi santri-abangan yang dikritik terlalu berat sehingga meniadakan orang-orang santri yang abangan atau abangan yang santri ataupun wilayah abu-abu, dan banyak aspek lainnya. Tapi yang jelas, dari Geertz lah para sarjana belajar tentang agama di Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin (2004) Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azra, Azumardi, Islam Observed Dan Santri, (http://www.republika.co.id/ korandetail.asp?, diakses 17 September 2007).
Connolly, Peter (1999) Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS.
Geertz, Clifford (1981) “The Religion of Java”, diterjemahkan Aswab Muhasin, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ma'ruf, Jamhari, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”, (
Taufiq, Akhmad, et. Al., (2004) Metodologi Studi Islam, Malang: Bayumedia Publishing.
Nata, Abuddin (2001) Metodologi Studi Islam, Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sembiring, Sri Alem, Refleksi Metodologis: Perjalanan Penelitian Menghasilkan Etnografi, (
Zuchron, Daniel, Trikotomi Geertz Yang Monumental (Disampaikan oleh dalam Diskusi Bulanan Staf PP. LAKPESDAM NU, 30 Mei 2006 di Gedung Perpustakaan PBNU) Dimuat 19/07/2006 oleh A. Fawaid, (http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=82, diakses 17 September 2007).
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.49 0 komentar
Label: studi islam
KONSEP TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIK
KONSEP TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIK
DALAM MEMAHAMI AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
PENDAHULUAN
Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi umat manusia) dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka -melalui Kitab Suci tersebut- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS 2:213).
Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan -melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat- apa yang dapat mengantar mereka menuju petujuk sebagaimana yang nyatakan oleh Allah swt.
Al-Qur’anul Karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad saw. Kebahagiaan mareka tergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan al-Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikan gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik. Di antara dua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata gharib (aneh, ganjil) atau mentakwilkan tarkib (susunan kalimat).
A. Konsep Tafsir, Ta’wil Dan Hermeneutik
1. Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal ari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan “nasara-yansuru”. Dikatakan “fasara (asy-syai’a)-yafsiru” dan yafsuru, fasran”, dan “fassarahu” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkap maksud sesuatu lafaz yang musykil.
Makna etimologis lain dari tafsir adalah: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar). Tafsir juga berarti mengungkap segala sesuatu yang dapat dicapai panca indera atau pengertian-pengertian yang dapat dicapai dengan akal.
Adapun secara terminologis, terdapat banyak sekali definisi yang disampaikan oleh para mufassir. Di antaranya adalah sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi dari pengertian yang diberikan oleh az-Zarkasyi, yaitu: Ilmu yang dengannyalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dapat dipahami, dan dengannya pula arti yang terkandung di dalam al-Qur’an dapat dijelaskan untuk kemudian dikeluarkan darinya hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Definisi lain diberikan oleh Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Qattan adalah Ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan lafadz-lafadz Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Namun, dari banyaknya definisi yang diungkapkan oleh para ulama, adz-Dzahabi berkesimpulan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud (Murad) dari apa yang difirmankan oleh Allah swt sesuai dengan kemampuan manusia. Maka dari itu, tafsir meliputi seluruh aspek yang terkait dengan pemahaman arti dan penjelasan maksud (firman Allah).
Di samping pengertian di atas, terdapat beberapa pengertian dari para ahli tafsir lainnya, diantaranya sebagaimana yang diberikan oleh Prof. Dr. Mahmud Basuni Faudah sebagai berikut:
“Tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya; halal dan haramnya; wa’ad dan wa’idnya, nasikh dan mansukhnya, khas dan ‘ammnya, muthlaq dan muqayyadnya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya dan lain sebagainya.”
Lebih lanjut, Faudah juga menjelaskan bahwa Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafadz-lafadz al Qur’an, madlulah dan ahkamnya secara ifrady (sendiri-sendiri) dan tarkib (tersusun) dan ma’aninya yang mengandung keterangan tentang hal ihwal susunannya.
2. Ta’wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a’lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan penta’wilan yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya. Di sinilah ta’wil dibutuhkan.
Takwil sendiri secara bahasa berasal dari kata “al-aul” yang berarti kembali ke asal. Bila dikatakan: “آل إليه أولا ومآلا” artinya: kembali kepadanya. Dan apabila dikatakan: “أول الكلام تأويلا” artinya memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya.
Menurut golongan salaf, takwil mempunyai dua arti, yaitu:
a. Penafsiran kalam dan penjelasan maknanya. Dalam hal ini arti ta’wil sama dengan tafsir. Sebagaimana yang dikatakan ibn Thabari:
اختلف أهل التأويل في هذه الآية
Artinya: “Para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini”. Yang dimaksud dengan ahlu ta’wil di sini adalah ahlu tafsir.
b. Takwil berarti menjelaskan kalam dengan sesuatu yang sesuai dengan yang dikehendaki/dimaksud kalam. Misalnya apabila kalam berbentuk perintah, maka takwilnya berupa perbuatan yang memenuhi perintah tersebut.
Adapun menurut muta’akhkhirun ta’wil diartikan sebagai memalingkan/mengganti makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menyertainya.
Namun dari definisi ta’wil di atas bukan berarti dengan serta merta setiap kita tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi penta’wilan ayat-ayat al-Quran:
a. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
b. Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad ‘Abduh mengembangkan lagi syarat penta’wilan, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta’wil-an dengan kata yang dita’wilkan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56 Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada."
Ta’wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
3. Hermeneutik
Hermeneutik berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutik dengan hermetik. Sedangkan hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik; suatu literatur ilmiah di Yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes Trismegistus.
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini dikenal dengan ilmu tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak hanya mutlak milik kaum penafsir Kitab Suci, ia berkembang pesat dalam pelbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik pada kajian di atas mulai berkembang pada abad 17 dan 18.
Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.
Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.
Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa.
B. Cara kerja tafsir, ta’wil dan hermeneutik
Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang pengertian hermeneutik, yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pengrtian tersebut merupakan peralihan antara sesuatu yang abstrak dan gelap kepada ungkapan yang jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia. Hermeneutik juga diartikan dengan menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
Dari perkembangan pengertian tentang terma hermeneutik di setiap kurun yang berbeda, diskursus hermeneutik tidak lepas dari perbincangan inti hermeneutik sendiri. Dalam definisi-definisi hermeneutik hampir semuanya mempermasalahkan dan mengkaji ulang prinsip hermeneutik, yaitu masalah penafsiran di mana seorang penafsir mendekati subyek. Bila terdapat berbagai macam rumusan pengertian mengenainya, maka hal itu lebih merupakan sebuah proses penyusunan suatu tatanan dalam merespon problem penafsiran yang dimunculkan oleh para penafsir. Jelasnya penafsiran merupakan problem hermeneutik karena tindakan penafsiran terhadap fenomena dan gejala alam atau terhadap segala ekspresi kehidupan manusia, berusaha mengungkap arti di balik gejala alam atau makna di belakang ungkapan komunikasi antar manusia yang tadinya tidak diketahui menjadi diketahui dan dimengerti adalah batasan umum yang dianggap benar, baik oleh hermeneutik klasik maupun modern.
Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu:
a. Pertama, literal interpretation
b. Moral interpretation
c. Allegorical (kiasan) interpretation
d. Analogical interpretation
Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria).
Intinya, ada banyak puspa ragam hermeneutika. Namun menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika, yaitu:
a. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti.
b. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer.
c. Hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault.
C. Pro dan Kontra Konsep Hermeneutika Dalam Memahami al-Qur'an
1. Kelompok Pendukung
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Hasan Hanafi juga mengajukan premis-premis metodis yang menjadi landasan filosofis bagi proses pembacaan atas teks suci. Ia menyatakan bahwa sebagaimana teks-teks lain, Qur’an juga harus menerima perlakuan yang sama karena ia menjadi obyek interpretasi yang sama dengan yang diperkenankan pada secular text.
Dari suara kelompok ini dapat ditangkap bahwa keabsahan al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa al-Qur’an is subject to historicity (tunduk pada sejarah), dan karenanya harus didekonstruksi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Sedangkan Fazlur Rahman mengklaim, al-Qur’an adalah both the Word of God and the word of Muhammad (kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad).
2. Kelompok Penolak
Untuk membuktikan kelemahanan tafsir hermenutika -atau interpretasi-epistemologis- ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, hermeneutic circle.
Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzil, atau asbab an-nuzul -dan juga asbabul wurud- bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzil, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematikan oleh para ulama’ dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an.
Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan -tepatnya realitas- yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldun (w. ) menyatakan, bahwa tafsir al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulum an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari pembuat syariat. Karena bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyri’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’.
Dari sinilah, Ibn Khaldun membagi tafsir menjadi dua: tafsir naqli, atau yang kini populer dengan istilah tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir yarji’ ila al-lisan, atau -meminjam istilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani- tafsir bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nasikh-mansukh, asbabun nuzul, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab, i’rab, dan balaghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif dan obyektif. Adapun tafsir isyari atau tafsir ‘irfani, tafsir yang dibangun berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis -seperti yang digagas oleh kaum Sufi- atau tafsir imaginer -seperti yang digagas Arkoun- adalah tafsir yang dianggap tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau pengalaman esoteris pembacanya.
Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata Arab, seperti majaz (kiasan) dan haqiqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqiqah syar’iyah, seperti lafadz al-jihad, as-shalah dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqiqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqiqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihad, dan berdoa untuk shalah. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqiqah syar’iyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks syara’.
Dengan kerangka epistemologi seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nasikh-mansukh, atau penggunaan teks di luar konteks historisnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umumil lafdhi la bi khushusis sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imran (03: 130), yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah (02: 278). Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamr, sehingga baik riba maupun khamr menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika.
Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus as-sariqu was sariqatu surat al-Ma’idah (05: 38), yang muthlaq kemudian ditaqyid dengan hadits: maja’ah mudhthar (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syari’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘am ar-ramadah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.
Dari sini jelas, bahwa kelemahan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kelemahan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kelemahan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kelemahan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektifitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektifitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyri’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyri’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini.
PENUTUP
Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus."
Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika.
Kita khawatir akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Saya akhiri makalah ini dengan sebuah saran yang bersumber dari peringatan Rasulullah saw yang berbunyi:
“Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka)”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz, “Bobroknya hermeneutika”,
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wa al-Mufassirun (Cet. II; Beirut: Darul Fikri, 1976)
Al-Jawi, M. Shiddiq, “Hermeneutika Al-Qur’an: Keniscayaan Atau Kenistaan?”, http:// www. khilafah1924.org, (diakses pada 20 Oktober 2007)
al-Qattan, Manna Khalil, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an”, diterjemahkan Mudzakir AS., Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet. I;Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992)
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Utama, 2002)
Fanani, Ahmad Fuad, “Metode Hermeneutika untuk al-Qur’an”,
Faudah, Mahmud Basuni, “Tafsir dan ta’wil”,
Hamdi, A. Zainul, “Hermeneutika Islam,” Jurnal Gerbang, No. 14 Vol. V (2003)
Manshur, Faiz, “Tiga Komponen Kritis Hermeneutik”, http://www.sinarharapan.co. id/berita/0302/15/ opi04.html, (diakses pada 1 Nopember 2007)
Muzairi, “Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed) et.Al., Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003)
Salma, Abu, “Sejarah Tafsir dan Perkembangannya”, http://abusalma.wordpress.com /2007/01/12/ sejarah-tafsir-dan-perkembangannya/, (Diakses pada 21 September 2007)
Suharto, Ugi, “Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?,” http:// hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=696&Itemid=60, (diakses pada 1 Nopember 2007)
Wan Daud, Wan Mohd Nor, “Tafsir Bukanlah Hermeneutika,” http:// www.kalam-upi.info/forum/index.php?, (diakses pada 1 Nopember 2007)
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.49 0 komentar
Label: studi islam
UNIVERSITAS AL-AZHAR AS-SYARIF
UNIVERSITAS AL-AZHAR AS-SYARIF
(Telaah Sejarah Karya Terbesar Dinasti Fathimiyah Di Mesir)
Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)
Sumber: http://alumnigontor.blogspot.com
Pendahuluan
Perjalanan panjang Al-Azhar yang kini jelang usia 1000 tahun lebih memang menarik disimak. Sejak dibangun pertama kali pada 29 Jumada al-Ula 359 H (970 M.) oleh panglima Jauhar ash-Shiqilli lalu dibuka resmi dan shalat Jum’at bersama pada 7 Ramadhan 361 H., lembaga besar yang mulanya sebuah masjid ini bagai tak pernah lelah membidani kelahiran para ulama’ dan cendekiawan muslim. “Masjid sekaligus institusi pendidikan tertua,” itulah penghargaan sejarah buatnya.
Saat ini al-Azhar merupakan universitas tertua di dunia yang telah banyak mengeluarkan ulama ternama diantaranya; Muhammad 'Abduh, Jamaluudin Al-Afghani, Yusuf Qardhawi, begitu juga dengan pakar tafsir kita Prof. DR. Quraish Syihab. Masa keemasan Al-Azhar terjadi pada abad 9 H/15 M. Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-'Aini, Al-Khawi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Ibnu Khaliqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah banyak mewariskan banyak ensiklopedi Arab. Usia seribu tahun lebih tentu saja banyak mengalami dinamika dan romantika. Walau uzur namun Al-Azhar tetap menjadi pavorit dan masih bisa dijadikan kiblat ilmu-ilmu Islam saat ini. Hal itu dapat dilihat dari antusiasnya para tholibul 'ilmi dari penjuru dunia berdatangan ke negeri kinanah. Untuk wilayah Timur Tengah, rating tertinggi pelajar tanah air masih didominasi Mesir dengan universitas Al-Azharnya.
Menurut data Atase Pendidikan Dan Kebudayaan KBRI-Cairo, jumlah mahasiswa al-Azhar saat ini kurang lebih 439.152 orang, diantara jumlah tersebut ada sekitar 3000-an lebih mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir, namun masih kalah jauh bila dibandingkan negara tetangga kita, Malaysia. Ada sekitar 7000-an lebih pelajar Malaysia di sini. Hal itu tidak mengherankan karena negara mereka memberikan dukungan moril dan materi kepada anak bangsanya. Pelajar Malaysia diberikan beasiswa pinjaman selama studi di sini. Berbeda dengan pemerintah kita, yang terkesan mempersulit birokrasi studi ke Al-Azhar. Padahal idealnya negara kita yang berpenduduk 220 juta lebih, lebih membutuhkan banyak ulama yang terjun di tanah air. Namun, jangan berkecil hati, walaupun sedikit, prestasi akademi anak Indonesia begitu menggembirakan bila dibandingkan dengan mereka. Mungkin karena hidup yang tidak terlalu berlebihan, lebih memacu semangat belajar yang giat.
A. Dinasti Fathimiyah Menguasai Mesir
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail Ja’far al-Shidiq pada tahun 297 H./909 M di negeri Maghrib (sekitar Maroko sekarang) dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya. Nama dinasti ini dinisbatkan kepada puteri Rasulullah Fathimah al-Zahra’, istri Ali bin Abi Thalib. Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Quraiwan (909-971M), kemudian pindah ke Kairo Mesir (972-1171M). dinasti ini merupakan dinasti Syiah Ismailiyah yang pertama kali lahir, diiringi lahirnya Dinasti Buwaih (932M0 di Baghdad, dan belakangan Kerajaan Safawi (1501 M) di Persia.
Seiringan dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar Khalifah al-Mahdi untuk menjadikan dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah isma’iliyah yang dipakai di kalangan Fathimiyah. Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.
Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai terget awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam (sekitar Syiria sekarang). Menaklukkan dua kawasan tersebut tidaklah mudah, setidaknya ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana khalifah Fathimiyah al-Mahdi. Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang berpusat di Mesir. Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi pusat daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam, maka dengan demikian posisi Maghrib sangat tidak menguntungkan sekali secara politik dan militer jika mereka langsung melakukang penyerangan ke Hijaz dan Syam. Dengan mempertimbangkan tersebut mereka memastikan bahwa mereka memang perlu menaklukkan Mesir dan Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik dan militer.
Keinginan khalifah al-Mahdi untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan dilancarkan, serangan pertama dilancarkan pada tahun 301 H/913 M. Namun serangan tersebut menemui kegagalan. Kemudian pada tahun 307 H./919 M ia kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil. Lalu pada tahun 321 H/933 M ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjaid khalifah kedua Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kevakuman. Keadaan seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.).
Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M. Seluruh suku bangsa Barbar yang sebelumnya membangkang dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah yang memberontak dan ingin melepaskan diri dapat juga ditaklukkan. Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat. Ketika itulah keinginan untuk menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa alasan-alasan baru, di antaranya:
1. Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun 357 H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
2. Terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit di kalangan penduduk Mesir.
3. Kekacauan di bidang ekonomi ini merembes ke bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu berlipat ganda.
4. Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah yang disebut Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan kebetulan sekali beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan Dinsti Fathimiyah.
Awalnya golongan Qaramithah inilah yang melakukan gencaran ke Mesir sehingga muncul kecemasan di kalangan publik, dalam kondisi tidak menentu ini sejumlah orang Fathimiyah telah bermain di dalam masyarakat Mesir untuk misi propaganda dan pengendalian opini publik agar mereka siap dengan masuknya penguasa baru di Mesir. Di lain pihak Abbasiyah di Baghdad tidak sangup mengirim pasukannya untuk mengatasi krisis di Mesir.Dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang demikian maka khalifah al-Muiz memberanikan diri meneruskan cita-cita pendahulunya yang belum menuai hasil maksimal.
Selanjutnya khalifah Fathimiyah, al-Muiz li Dinillah, menyerahkan tanggung jawab penaklukan Mesir kepada panglima perangnya Jauhar ash-Shiqli yang sebelumnya berhasil meluaskan kekuasaan Fathimiyah sampai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko sekarang). Untuk penyerangan kali ini al-Muiz menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar dengan menempatkan seratus ribu pasukan berkuda di dalamnya. Sepertinya khalifah al-Muiz tidak ingin mengulangi kekalahan yang diderita pada tiga agresi sebelumnya.
Sebelum pengiriman pasukan dimulai, al-Muiz melakukan serangkaian persiapan-persiapan untuk menunjang kelancaran serangan ini, diantaranya pembangunan jalan dan jalur-jalur penghubung ke Mesir, penggalian sumur-sumur, pendirian tempat-tempat istirahat dan tidak lupa pendanaan dalam skala besar. Di saat semua persiapan dirasa cukup maka mulailah khalifah al-Muiz melepas kepergian pasukannya di bawah komando panglima Jauhar ash-Shiqli pada 14 Rabi’ul Akhir 358 H./7 Maret 969 M.
Pasca beberapa seremonial pelepasan, berangkatlah pasukan besar itu menuju arah Mesir. Dan ketika al-Muiz kembali ke istananya, ia mengirimkan pakaian kebesarannya yang baru saja dipakai dalam seremonial tadi kepada Jauhar as-Shiqli kecuali cincin khalifahnya. Setelah beberapa hari perjalanan, Jauhar dan pasukannya masuk Mesir melalui Iskandariyah (Alexandria). Ketika berita ini sampai di Fusthat, Ja’far al-Furat (menteri Mesir) dan orang-orangnya mengajukan permohonan perlindungan keamanan. Pada 18 Rajab 358 H mereka menyusun sebuah pertemuan dengan pihak Jauhar. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Jauhar akan memberikan keamanan dan kedatangannya ke Mesir adalah dalam rangka perbaikan serta tidak memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakat Mesir yang Sunni. Ternyata fakta di lapangan berkata lain, sebagian besar tentara Mesir tidak setuju dengan nota kesepakatan tersebut, sehingga terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan pasukan mesir yang tidak setuju.
Pada sore 17 Sya’ba 358 H./6 Juli 969 M. Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya masuk bagian kota Mesir yang kala itu mencakup kawasan Fusthat dan ‘Askar. Dan Jauhar mengambil sebuah tempat luas yang berposisi menghadap kedua kota tersebut sebagai markas pasukannya, tempat itu disebut Munakh. Dengan masuknya pasukan Dinasti Fathimiyah ke Mesir berarti berakhirlah masa pendudukan Mesir di bawah kekuasaan Ikhsyidiyah dan Abbasiyah, dan mulailah Mesir memasuki babak baru di bawah kekuasaan Dinasti Fathimiyah.
Sebagaimana tradisi kaum muslimin sebelumnya, maka setelah berhasil menduduki Mesir, Jauhar segera mendirikan sebuah kota sebagai lambang kekuatan sekaligus kemenangan sisi politik dan militer Daulah Fathimiyah atas Daulah Abbasiyah di Mesir. Bahkan ketika itu Jauhar menghapuskan dan melarang pemakaian semua simbol-simbol Abbasiyah.
Kota tersebut dinamai oleh Jauhar ash-Shiqli dengan Mansuriyah, mengambil nama khalifah Fathimiyah ketiga yang merupakan orang tua khalifah al-Muiz sendiri. Mungkin Jauhar ingin kedudukannya di mata al-Muiz semakin tingi dengan menamai kota baru mereka dengan nama orang tua Sang Khalifah. Nama ini terus dipakai selama empat tahun, sampai di saat kedatangan khalifah al-Muiz ke Mesir ia menggantinya dengan nama al-Qahirah atau yang lebih kita kenal dengan Kairo.
Al-Qahirah atau al-Qahir sendiri dalam bahasa arab berarti yang perkasa atau kuat, konon sebab penamaan kota ini demikian karena al-Muiz sendiri adalah seorang yang cenderung optimistik. Pemilihan nama itupun sebenarnya telah muncul di benak al-Muiz semenjak ia berada di negeri Maghrib, bahkan sebelum Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya melangkah menuju negeri baru ini, tepatnya ketika ia menyampaikan pidato pelepasan pasukan:” demi Allah, walaupun Jauhar ini berangkat seorang diri saja niscaya Mesir akan dapat ditundukkan juga, ia akan memasuki Mesir tanpa peperangan, kemudian menetap di reruntuhan Ibnu Touloun dan medirikan sebuah kota bernama al-Qahirah (yang perkasa) yang akan menaklukkan dunia…”.
Prof. Ahmad Hasan al-Baquri, mantan rektor Universitas al-Azhar, pernah menyebutkan alasan lain pemilihan nama al-Qahirah:” …ketika Presiden Jamal Abdul Naser berada di kota Qairawan, beliau mengunjungi sebuah masjid di sana yang bangunannya mirip dengan bangunan al-Azhar dan di sampingnya terdapat sebuah ruangan. Teman-teman dekatnya memberitahu bahwa dahulu ruangan itu adalah tempat penyimpanan harta dan senjata, dan mereka dulu menamakan ruangan tersebut dengan al-Qahirah. Dengan nama inilah dinamai kota al-Qahirah (Kairo) setelah Fathimiyah menaklukkan negeri Mesir, tambah mereka.”
Di lain riwayat disebutkan juga bahwa yang menamai kota ini dengan al-Qahirah bukan Khalifah namun Jauhar sendiri terinspirasi dari planet Mars, yang menurut ahli bintang/falak masa lalu merupakan raja planet/bintang (qahirul falak). Karena menurut riwayat ini ketika pembangunan kota akan dimulai, para ahli bintang mengelilingi pondasi kota dengan tali dan pada tali itu digantungkanlah lonceng-lonceng, kemudian mereka mulai menunggu bintang yang muncul, di saat itulah hinggap burung di atas tali tadi yang menyebabkan lonceng-lonceng tersebut berbunyi dan mereka mendapati bintang kejora (planet mars) telah muncul di ufuk, maka mulailah para pekerja mengayunkan tangan-tangan mereka, mulai membangun kota itu, dan kemudian dinamailah kota itu dengan al-Qahirah.
Terlepas dari beragam versi di atas, di beberapa kesempatan nama al-Qahirah juga biasa disebut al-Qahirah al-Muiziyah dengan menisbahkan nama khalifah al-Muiz kepadanya, atau al-Qahirah al-Mahrusah karena dinding pagarnya yang tinggi dan pintu-pintunya yang besar.
Dari segi posisi, kota al-Qahirah ini terletak di sebelah timur Fusthat, berbentuk persegi empat yang panjang sisinya 1200 meter dan dikelilingi oleh pagar yang besar. Waktu itu ia mencakup daerah al-Azhar, Gamaliyah, Husainiyah, Babu asy-Sya’riyah, Moski, Ghouriyah dan Bab al-Khalq.
Di sisi timur pagar kota, tepatnya di tempat yang dijadikan Jauhar sebagai markas pasukannya, dibangun juga sebuah istana untuk khalifah al-Muiz. Disekitar kawasan inilah berpusat pemerintahan Fathimiyah kala itu, di sana juga dibangun gudang-gudang senjata.
Namun, di masa-masa awalnya Kairo belumlah menjadi sebuah ibu kota melainkan hanya kumpulan dari istana-istana besar, Jami’ al-Azhar, barak-barak militer dan pemukiman kabilah-kabilah dari Maghrib. Sementara itu Fusthat yang berada di pinggir Nil masih berfungsi sebagai pusat perdagangan dan selalu setia meyambut kedatangan kapal-kapal Nil dari daerah-daerah selatan yang mengangkut hasil-hasil pertanian, ia juga masih menjadi kota terbesar bagi para pencari kerja dan pencari ilmu & pengetahuan.
Maka dengan berdirinya al-Qahirah atau Kairo berarti ia adalah kota Islam keempat yang didirikan dalam selang waktu 338 tahun sejak Amru bin Ash mendirikan kota Fusthat tahun 20 H. Sejarah ini telah menjadikan jejak-jejak kebesaran tiga kota sebelumnya terhapus sedangkan Kairo tetap kokoh sampai saat ini sebagai ibu kota Mesir dan kota terbesar dalam dunia Islam-selain Istambul ketika menjadi ibu kota Dinasti Utsmani- serta menjadi pusat perkembangan peradaban dari sisi agama, pemikiran dan pengetahuan dalam dunia Islam dan Arab khususnya.
B. Sejarah Berdirinya Universitas al-Azhar
Sudah menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban Islam di suatu daerah selau dikaitkan dengan peran masjid jami' (masjid negara) di kawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata Rasulullah saw ketika hijrah kemadinah, tugas pertama yang yang beliau lakukan adalah membangun Masjid. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya terbatas dengan kegiatan ritual semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan Islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.
Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh 'Amru bin 'Ash ketika menguasai wilayah Mesir. Atas perintah Khalifah Umar, Panglima Amru bin 'Ash mendirikan masjid pertama di Afrika yang kemudian dinamakan Masjid 'Amru bin 'Ash di kota Fushtath, sekaligus menjadi pusat pemerintahan Islam Mesir pada waktu itu. Selanjutnya dimasa Dinasti Abbasiyah, ibu kota pemerintahan ini berpindah lagi ke kota yang di sebut al-Qatha'i dan ditandai dengan pembangunan sebuah masjid bernama Ahmad bin Thoulun.
Masa demi masa berlalu, pemerintahanpun silih berganti hingga tiba era Daulah Fathimiyah di Mesir. Ibukota Mesir pun berpindah ke daerah baru atas perintah Khalifah al-Mu'iz Lidinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar ash-Shiqili, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap pembangunan, daerah ini dinamai kota al-Qahirah.
Sebagaimana sejarah Islam masa lalu, setiap berganti daulah selalu di tandai dengan pembangunan masjid di pusat ibukota. Sehingga kurang setahun kemudian, beriringan dengan pembangunan kota al-Qahirah didirikan pula sebuah masjid bernama jami' al-Qahirah (meniru nama ibu kota). Seluruhnya masih dalam penanganan panglima Jauhar Ash-shiqili. Pada masa khalifah al-Aziz Billah, sekeliling Jami' al-Qahirah dibangun beberapa istana yang disebut al-Qushur az-Zahirah. Istana-istana ini sebagian besar berada di sebelah timur (kini sebelah barat Husein), sedangkan beberapa sisanya yang kecil di sebelah barat (dekat masjid al-Azhar sekarang), kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini dikenal sengan sebutan "Madinatul Fathimiyin al- Mulukiyah". kondisi sekitar yang begitu indah dan bercahaya ini mendorong orang menyebut Jami' al-Qahirah dengan sebutan baru, jami' Al-Azhar (berasal dari kata zahra' artinya: yang bersinar, bercahaya, berkilauan).
Masjid besar al-Azhar inilah yang kemudian menjadi pusat kajian keislaman hingga saat ini. Sebagaimana telah penulis uraikan di atas, perjalanan panjang Al-Azhar yang dibangun pertama kali pada 29 Jumada al-Ula 359 H (970 M.) oleh panglima Jauhar ash-Shiqilli lalu dibuka resmi dan shalat Jum’at bersama pada 7 Ramadhan 361 H ini telah menjelma menjadi sebuah perguruan tinggi tertua dan terbesar hingga saat ini. Al-Azhar merupakan karya terbesar dari bangunan peradaban Islam yang dibangun Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Dinasti Fathimiyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani Abbas di Baghdad dan bani umayyah di spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains saat itu bermula dari tradisi yang berhasil dirintis oleh khalifah al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti al-Makmun di Bani Abbas. Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuan, tempat diskusi pada ulama, fuqaha, qurra’, nuhat, ahli hadits dan para pejabat yang ikut juga terlibat di dalamnya. Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu.
Al-Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak ulama besar pindah dari baghdad ke Kairo. Al-Azhar dijadikan sebagai pusat studi ilmu-ilmu agama baik naqli maupun aqli. Di samping al-Azhar, pada tahun 1005 M al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah sebagai pusat studi pada tingkat tinggi, sehingga di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan serta pendidikan.
Para khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan al-Azhar tidak lepas dari segi pendanaannya. Oleh karena itu setiap khalifah memberikan harta wakaf baik dari kantong pribadi maupun kas negara. Penggagas pertama wakaf bagi al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al-hakim bin Amrillah, lalu diikuti oleh para khalifah berikutnya serta orang-orang kaya setempat dan seluruh dunia Islam sampai saat ini -harta wakaf tersebut kabarnya pernah mencapai sepertiga dari kekayaan mesir. Dari harta wakaf inilah roda perjalanan al-Azhar bisa terus berputar, termasuk memberikan beasiswa, asrama dan pengiriman utusan al-Azhar ke berbagai penjuru dunia. Dari Masjid 'Amru bin 'Ash dan Ahmad bin Thoulun, perlahan poros pendidikan berpindah ke al-Azhar.
C. Perkembangan dan Dinamika Universitas al-Azhar
Sudah menjadi semacam perjanjian tak tertulis, pada setiap khalifah Daulah Fathimiyah selalu diadakan restorasi bangunan jami' Al-azhar. Hingga ketika gempa hebat sempat merusak al-azhar pada tahun 1303 M., Sultan An-Nashir yang memerintah saat itu segera merehab kembali bangunan masjid yang rusak. Ciri spesifik pemugaran bangunan mulai nampak pada masa Qansouh al-Ghouri (1509 M.)yang merestorasi satu menara Al-azhar nan indah dengan dua puncak (Manaratul Azhar Dzatu ar-Ra'sain). Penyempurnaan jami' al-azhar kembali dilanjutkan pada periode daulah Utsmani, dengan kegiatan renofasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya. Puncaknya dicapai pada masa Amir Abdurrahman Katakhda (wafat 1776 M.) dengan menambah dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka lokal belajar bagi yatim piatu, membangun ruaq sebagai pemondokan mahasiswa dan pelajar asing, membuat pendopo ruang tamu, terasa tak beratap dalam masjid, dan tangki air tempat berwudhu'. singkat kata, hampir seluruh bangunan tua yang masih tersisa di masjid al-azhar kini adalah hasil karya Amir tersebut.
1. Fase Peralihan
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih berganti memainkan perannya dilembaga tertua ini. Selain sebagai masjid, proses penyebaran paham syi'ah turut mewarnai aktivitas awal yang dilakukan Dinasti Fhatimiyah. Khususnya dipenghujung masa Khalifah al-Mu'iz li dinillah ketika Qadhi Qudhah Abul Hasan Ali bin Nu'man Al-Qairuwani mengajarkan fiqh madzhab syi'ah dari kitab mukhtasar yang merupakan pelajaran agama pertama di masjid al-azhar pada bulan Shafar 365 Hijriah (Oktober 975 M.).
Sesudah itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap ilmu manthiq, filsafat, kedokteran, dan ilmu falak sebagai tambahan yang diikutsertakan. Namun semenjak Shalahuddin al-Ayyubi memegang pemerintahan Mesir (tahun 567 H/1171 M.), Al-azhar sempat diistirahatkan sementara waktu sambil dibentuk lembaga pendidikan alternatif guna mengikis pengaruh syi'ah. Disinilah mulai dimasukan perubahan orientasi besar-besaran dari mazdhab syi'ah ke mazdhab sunni yang berlaku hingga sekarang.
Penutupan sementara al-Azhar dilakukan pada jangka waktu yang cukup lama, kurang lebih 98 tahun, yaitu sejak masa Shalahuddin al-Ayyubi hingga pemerintahan Dinasti Mamalik.
2. Fase Reformasi Pembaharuan
Administrasi pertama al-Azhar dimulai pada masa pemerintahan sultan Ad-Dhahir Barquq (784 H. / 1382 M.) dimana ia mengangkat sultan Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama, ini terjadi dalam masa kekuasaan Mamalik si Mesir. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan Al-azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah. Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai Mesir di penghujung abad 11 H. Ditandai dengan pengangkataan "Syaikh Umumy" yang digelar dengan Syaikh Al-Azhar sebagai figur yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa, hukum, termasuk tempat mengadukan segala persoalan. pada fase ini terpilih syaikh Muhammad Al-khurasyi (1010-1101) H.) sebagai syaikh Al-azhar pertama. Secara keseluruhan ada 40 syaikh yang telah memimpin Al-azhar selama 43 periode, hingga kini dipegang oleh mantan mufti, Syaikh Muhammad Thantawi. Masa keemasan Al-azhar terjadi pada abad 9 H.(15 M.) banyak ilmuan dan ulama islam bermunculan di Al-azhar saat itu, seperti ibnu Khaldun, Al-farisi , As-suyuti, Al-'Aini, Al-Khawi, Abdul Latif AL-bagdadi, Ibnu Khalikqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir (1517-1798 M.) Al-azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur meninggalkan cairo. meski begitu tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir-amir Utsmani dan kaum muslimin sedunia.
Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern sekuler. Ia juga berusaha menciutkan peranan Al-azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai badan waqaf Al-azhar yang merupakan urat nadinya. seterusnya, pada masa pemerintahan Khedive Ismail Pasha (1863- 1874) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan, dan dari sinilah pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekuler. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al-azhar sebagai pusat pendidikan islam terpenting.Sejak awal abad 19, sistim pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al-azhar masih saja menggunakan sistim tradisional. dari sini mulai muncul suara pembaharuan.
Diantara pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-'alamiyah (kesarjanaan) Al-azhar pada februari 1872. juga pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah Al-azhar (dewan administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al-azhar menjadi dua periode: pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi 12 tahun, kurikulum Al-azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al-'ulum al-manqulah (bidang studi agama)dan al-'ulum al-ma'qulah(studi umum). Menyebut pembaharuan di Al-azhar, kita perlu mengingat Muhammad Abduh (1849-1905). Ia mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-azhar dengan memasukan ilmu-ilmu modern kedalam kurikulumnya. Gagasan terssebut mulanya kurang disepakati oleh syaikh Muhammad Al-Anbabi. Baru ketika syaikh An-Nawawi memimpin Al-azhar, ide Muhammad Abduh bisa berpengaruh, berangsur-angsur mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal syarah al- hawasyi disederhanakan. Sementara itu kurikulum modern seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. telah menerobos Al-azhar, berbarengan dengan ini pula di renovasi ruaq Al-azhar sebagai pemondokan bagi guru dan maha siswa.
3. Al-Azhar Kini
Pada abad XXI ini, Al-Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas di barat, dan mengirim alumni terbaiknya untuk belajar ke eropa dan amerika. tujuan pengiriman itu adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiyah di tingkat international sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman islam yang benar. Cukup banyak duta Al-Azhar yang berhasil yang berhasil meraih gelar Ph.D dari universitas luar tersebut, diantaranya adalah syaikh DR. Abdul Halim Mahmud, syaikh DR. Muhammad AL-bahy, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebelumnya, pada tahun 1930, keluar undang-undang nomor 49 yang mengatur Al-azhar mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dan membagi universitas Al-azhar menjadi 3 fakultas, yaitu: Syari'ah, ushuluddin, dan bahasa arab. Fakultas induk Ayari'ah wal Qanun (hukum international) di cairo merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun 1930. semula bernama fakultas Syari'ah , lalu pada tahun 1961 dirubah menjadi nama seperti sekarang. Fakultas induk ushuluddin dan bahasa arab di cairo juga didirikan pada tahun 1930, penjurusannya diatur kembali pada tahun 1961. fakultas Da'wah islamiyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) nomor 380 tahun 1978 yang di keluarkan pada 16 Ramadhan 1398 H. bertepatan dengan 20 agustus 1978). Fakultas Dirasat islamiyah wal Arabiyah memulai kuliahnya tahun 1965 sebagai salah satu jurusan dari faklultas Syari'ah. pada tahun 1972 keluar keppres nomor 7 yang menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama (Ma'had Dirasat Al-islamiyah wal Arabiyah (Institute of Islamic and Arabic Studies ). Namun, pada 1976 keluar keppres No: 299 yang kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan :Ushuluddin, Syari'ah islamiyah, Bahasa arab dan Sastra arab.
Angin pembaharuan kembali berhembus di Al-azhar pada 5 Mei 1961 dimasa kepemimpinan syaikh Mahmud Syaltout. Peran Syaikh Al-azhar di ciutkan menjadi jembatan simbolis sehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga pendidikan yang berada di bawah pimpinanya. Undang-undang revolusi Mesir no:103 tahun 1961. undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan srtukturil pendidikan di Al-azhar, sehingga di antaranya membolehkan lulusan SD atau SMP Al-azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA milik departemaen pendidikan, atau sebaliknya. dalam ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan lagi fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran, Perdagangan, / ekonomi, sains, pertanian, teknik, farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun khusus fakultas untuk mahasiswi (kuliyatul banat) dengan berbagai jurusan.
Al-Azhar mempunyai 3 Rumah Sakit Universitas: Husain Hospital, Zahra' Hosppital dan Bab el-Syari'ah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City untuk orang asing dibuka pada bulan september 1959.
Universitas (jami'ah) al-azhar hanyalah sala satu lembaga resmi yang dimiliki Al-azhar, masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
a. Lembaga pendidikan dasar dan menengah (Al-Ma'ahid Al-Azhariyah)
b. Biro kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ast-Tsaqafah wal Bu'uts al-islamiyah)
c. Majlis tinggi Al-azhar (Majlis Al-a'la lil azhar)
d. Lembaga riset islam (Majma' Al-buhuts Al-islamiyah)
e. Hai'ah Ighatsah Al-islamiyah
Sejak mula berdirinya, studi di Al-azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh dunia, Hingga kini Universitas Al-azhar memiliki lebih dari 50 fakultas yang tersebar di seluruh pelosok Mesir. Itulah potret Al-azhar yang tetap tegar dalam kurun usia senja.
D. Sekilah tentang kondisi Akademik Universitas al-Azhar
Sebagai universitas modern, al-Azhar turut membuka model kuliah yang diklasifikasikan dalam dua kelompok fakultas: Ilmi (sains) dan Adabi (agama).
Untuk fakultas-fakultas Adabi (agama), jenjang studi yang dibuka meliputi:
a. Undergraduate (Kulliyah atau S1 )
b. Postgraduate (Dirasah 'Ulya atau S2 dan S3)
Masa pendidikan resmi program Under Graduate (S1) selama 4 tahun (kecuali Fakultas Syari'ah jurusan Syari'ah wal Qonun menempuh masa 5 tahun). Sedangkan program Magister (S2) hanya menjalani studi hanya dua tahun saja, dan dilanjutkan dengan penulisan Tesis secara terpisah. Proses penerimaan mahasiswa program S2 di al-Azhar dilakukan melalui test hafalan Al-Qur'an 8 juz, sehingga kesempatan lebih terbuka, tanpa membedakan nilai akhir mahasiswa lulusan S1 (Lc.) Untuk pencapain gelar Doctor (S3), cukup dengan mengajukan desertasi.
Pada tahapan program Under Graduate (S1), sistem yang diterapkan memang agak ketat. Agar bisa melanjutkan ke tingkat study berikutnya, mahasiswa harus menyelesaikan seluruh mata kuliah pada setiap tingkat, dan diperbolehkan memiliki maksimal dua sisa mata kuliah pada tingkat sebelumnya. Sementara bagi yang memiliki sisa mata kuliah lebih dari dua, terpaksa mengulang setahun lagi pada tingkat yang sama, khusus menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal. Kecuali tingkat IV, mahasiswa diberi kesempatan ikut ujian tashfiyyah bagi yang tersisa dua mata kuliah. Jika pada ujian fase ini juga belum tuntas, maka diharuskan mengulang setahun lagi khusus dua atau satu mata kuliah sisa tersebut. Kesempatan mengulang study (i'adah) pada tingkat I dan II cuma diberikan dua kali (2 tahun) andai pada tahun ketiga belum lulus hingga batas maksimal, maka mahasiswa akan dikeluarkan (mafshul). Begitu pula untuk tingkat III, ada jatah “bernafas” 4 tahun.
Diantara dispensasi yang diberikan al-Azhar terhadap fakultas keislaman ini ialah bebas biaya pendidikan. Mahasiswa hanya perlu beli buku atau diktat kuliah (muqarrar) yang ditebitkan al-Azhar dan sedikit biaya administrasi pembuatan kartu Mahasiswa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asal mula Al Azhar adalah berupa mesjid yang dibangun oleh Jauhar Al-Shaqali, seorang panglima perang pada Dinasti Fathimiyah, pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H (970 M). Seiring dengan perkembangan zaman, masjid Al Azhar adalah merupakan tempat dakwah yang semakin hari semakin besar, sehingga menjadi sebuah lembaga pendidikan. Kondisi semacam itu berlangsung lama sampai pertengahan abad 21. Jadi selama itu pula Al Azhar yang berupa masjid mempunyai fungsi ganda; sebagai masjid dan pusat kegiatan Islam, dan sebagai lembaga pendidikan. Kedua faktor inilah yang membuat Al Azhar selalu melakukan pembaruan yang terus berkesinambungan.
Pembaruan yang amat kentara sekali telah dilakukan oleh Syekh Muhammad Abduh ketika masih memegang kendali Al Azhar. Pembaruan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan fungsi Al Azhar sebagai pusat pemurnian pemahaman Ajaran Islam dan diharapkan dapat mencetak kader-kader da’i yang tangguh. Dibentuklah dalam tubuh Al Azhar beberapa jenjang pendidikan, sejak tingkat dasar sampai jenjang akademi. Juga membuka fakultas-fakultas umum yang semuanya dengan sistim terpisah antara putra dan putri.
Semakin hari, Al Azhar berkembang semakin besar. Sehingga tidak hanya berpusat di Ibukota, Kairo, tapi hampir menyeluruh di setiap propinsi di Mesir dibuka cabang Al Azhar.
Kebesaran tersebut lebih terasa lagi, demi mengetahui bahwa Al Azhar adalah lembaga sosial yang teramat sosial. Al Azhar, sepeserpun tidak menarik uang kuliah dari mahasiswa. Bahkan ia tiap tahunnya membuka pendaftaran beasiswa. Juga terus mengadakan pembangunan dan membuka cabang-cabang baru di daerah-daerah.
B. Saran
Banyak hal yang dapat kita ambil dari kehebatan dinasti fathimiyah serta Universitas al-Azhar sebagai karya besarnya. Kebesaran al-Azhar tidak lepas dari konsistensinya mempertahankan sistem wakaf yang diyakini oleh para pendirinya sebagai penjamin masa depan yang cemerlang. Hal inilah yang paling penting untuk kita kaji untuk kemudian kita terapkan atau paling tidak kita tawarkan penerapannya dalam institusi-insitusi Islam yang ada di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Agnan, “Sekilah Sejarah al-Azhar,”
Abdurrahman, Ragab. “Sejarah Berdirinya Jami’ al-Azhar”, Error! Hyperlink reference not valid., (diakses pada 20 Desember 2007).
Agus Lutfillah, “Sekilas Sejarah al-Azhar,” http://aguslutfillah.tripod.com/id2.html, (diakses pada 20 Desember 2007).
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Badri Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hitti, Phillip K. 2002. History of the Arabs. Jakarta: Serambi.
Nurhakim, Moh. 2004. Sejarah dan peradaban Islam. Cetakan Pertama; Malang: UMM Press.
Prasetyo, “Sistem Perkuliahan al-Azhar”,
“Sejarah Universitas al-Azhar,” http://geocities.com/azh4r04/azhar.htm, (diakses pada 20 Desember 2007).
Websites Informasi Pendaftaran Universitas al-Azhar Mesir,”
Website Resmi Atase Pendidikan Dan Kebudayaan KBRI-Cairo, http://dikbudcairo.org/?pilih=arsip &topik=6, (diakses pada 22 Desember 2007).
Diposting oleh asrori-nganjuk di 12.43 0 komentar
Label: sejarah kebudayaan Islam